Saat dimana Narni penuh kebimbangan, merasakan hal yang bukan kehendak dan keinginannya. Teringin untuk mengatakan sebenarnya apa yang menjadi kemauannya dan bisa ia ungkapkan pada kedua orang tuanya. Namun semua itu seolah sudah dipagari oleh situasi serta kondisi yang sama sekali tak berpihak padanya.
Cincin yang bertahta di jari manis kanannya, ia pandang lama dan tanpa sadar air matanya menetes. Gundah gulana menyelimuti dirinya karena perjodohan itu. Mulut seakan sudah tak mampu luapkan perasaan terdalam hatinya.
Sore hari itu yang cukup cerah, Narni menyirami bunga-bunga yang ada di halaman rumahnya. Bunga mawar, bunga matahari, anggrek, itu semua adalah bunga kesukaannya. Karena dulu saat kebersamaannya dengan sahabat karibnya. Narni tak begitu suka bunga namun karena Danang yang akhirnya membuat kecintaannya pada bunga itulah menjadikan ia mau merawat tanaman bunganya.
"Hai, bunga-bungaku apa kabar kalian semua? Tumbuhlah dan mekarlah dengan aroma semerbak mewangi dalam cantik rupamu."
Bibirnya tersenyum tipis, tangannya memotong setiap masing-masing bagian bunga yang nampak ada batang kering, daun kering dan memotong batang yang menjulur tak beraturan. Matanya seksama melihat tiap bagian tanaman-tanaman bunga itu.
"Ehm... bungaku, temani hatiku ya? Aku lagi sedih... hanya kalianlah yang setia mendengarkan curahan rasa ini, meski kalian tak mampu berbicara dengan suara tapi kalian bicara dengan keindahan rupa, terima kasih bungaku, kalian adalah sahabat keduaku setelah Danang."
Lagi, air matanya menetes, helaan napas panjang keluar dari mulutnya. Ia hanya menahan sesak di dada karena tak mau orang tahu kalau dirinya bersedih.
Suasana sore terasa tenang, Narni menyelesaikan pekerjaannya menyiram tanaman lalu menyapu dedaunan kering. Tak lama dari arah jalan sebuah sepeda motor mendekati pagar bambu rumah Narni kemudian berhenti. Sosok yang belum begitu ia kenal, turun dari motor lalu masuk ke halaman rumah Narni.
"Assalamualaikum, Dik Narni."
Sapaan pertama yang ia ucapkan pada calon istrinya sembari tersenyum. Tubuh calon suami Narni yang kurus, tinggi, berkulit sawo matang itu mendekatinya.
"Loh, kok kamu diam, Dik? Jawab dong, jangan diam karena yang aku tahu kalau menjawab salam itu dapat pahala loh."
Kemudian bibir Narni akhirnya menjawab salam sapaan calon suaminya itu, Sasongko.
"Waalaikumsalam, Mas."
Sikap datar Narni, membuat Sasongko sedikit mengernyitkan dahi.
"Dik, kamu gak apa kan? Kamu lagi gak enak badan?"
"Gak kok Mas, aku baik-baik aja."
"Lalu, kenapa kamu kok tampak seperti acuh padaku?"
"Maaf Mas, bukan maksudku mengacuhkanmu tapi mungkin aku sedikit lelah."
Lalu Narni mempersilahkan Sasongko masuk ke dalam rumahnya. Dan mereka berdua duduk di ruang tamu. Ia pun menawarkan minuman pada Sasongko. Narni masuk menuju dapur dan membuatkan secangkir kopi untuk calon suaminya yang memang meminta dibuatkan kopi.
"Ini kopinya Mas, silahkan diminum tapi kalau terlalu manis, bilang aja, nanti kuganti kopimu."
"Gak usah repot-repot Dik, Mas gak apa kalau minum kopi yang manis banget karena yang buat saja... orangnya manis dan cantik he.. he.."
"Ah gak usah bilang begitu, aku gak suka dirayu."
"Loh Dik, Mas gak merayu tapi kenyataan kok."
Senyum Sasongko semakin lebar dan matanya yang besar memandang Narni yang tersenyum tipis. Lalu merekapun terlibat pembicaraan yang lumayan serius mengenai rencana pernikahan mereka berdua. Tapi Narni sepertinya tak begitu antusias karena ia merasakan tubuhnya sudah tak nyaman karena belum mandi.
"Maaf Mas, aku mandi dulu ya."
"Loh, belum mandi Dik?
" Ya, memang kenapa?"
" Oh gak sih, kamu belum mandi saja sudah cantik apalagi sudah mandi, pasti lebih cantik."
"Ah gombal."
"Loh? sumpah kamu manis juga cantik."
Tubuh ramping Narni beranjak dari tempat duduknya dan berlalu pergi meninggalkan Sasongko yang masih tersenyum-senyum.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/201026460-288-k785121.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Maid In Merlion
ChickLitNarni adalah gadis desa yang mencoba mengadu nasib seperti teman-temannya yang sudah dulu berada di luar negeri. Konflik rumah tangganya yang tak kunjung mendapat solusi justru semakin membuatnya bingung. Dengan terpaksa ia tinggalkan anak dan suami...