4 - Depresi?

292 42 23
                                    

...

"Jaemin, tonjok gua."

"A-apa?"

"Tonjok gua sekarang!" Jeno mengulang.

"Lu udah gila ya?!"

"Tonjok atau gua tebas kepala-"

Bugh!

"Ahhkk!"

"Udah puas Lo?"

"Makasih."

Jeno langsung berlari keluar dari kantin sekolah juga meninggalkan teman-temannya yang sedang makan.

Suara teman-temannya yang meneriakinya ia hiraukan. Karena kalau Jeno bilang pada mereka kemana Jeno ingin pergi, salah satu dari mereka pasti akan ikut dan Jeno akan merasa malu nantinya.

Jika kalian bisa menebak kemana Jeno melangkahkan kakinya, kalian pintar.

Iya, Jeno ke uks.

Ngapain? Ya ngapain lagi kalo bukan mau ketemu Dinda.

Jeno tau hari ini Dinda pasti ada jaga di uks karena temannya yang sekelas dengan Dinda bilang kalau kelas mereka yaitu kelas X-MIPA 2 hari ini habis jam istirahat pertama usai akan ada freeclass karena gurunya sedang sakit.

Untungnya jarak dari kantin ke uks tidak begitu jauh. Saat masuk kedalam uks Jeno dapat melihat Dinda dengan rambut sebahunya sedang melipat selimut. Hanya ada Dinda disini.

Dari belakang saja hati Jeno sudah tidak bisa dikontrol, pesona Dinda yang kalem benar-benar berhasil memikat Jeno.

"Ekhm."

Dinda menoleh, di dapatinya Jeno yang sedang menatapnya datar. Dinda tersenyum sebagai sapaannya untuk Jeno, ia lalu kembali fokus merapihkan kasur lebih dulu sebelum melayani Jeno.

"Kenapa lagi?" Tanya Dinda sudah berdiri dihadapan Jeno yang juga sudah duduk diatas kursi.

"Ini, nggak liat?" Ucap Jeno cuek sambil menunjuk bagian pipinya yang membiru.

Dinda menghela nafasnya, ia lalu mengambil beberapa obat untuk mengobati luka lebam Jeno. Sepertinya yang ia butuhkan hanya salep saja, tapi sayangnya lumayan susah untuk mencari salep yang ia maksud karena ukurannya yang kecil.

"Iya tau kok, itu biru. Tapi kenapa bisa sampe kaya gitu, Berantem?" Lanjut Dinda disela-sela mencari salep, dan akhirnya ketemu! Ia pun kembali menghampiri Jeno.

"Nggak perlu tau."

Dinda bungkam, tak ingin berdebat lebih jauh lagi. Ia pun mulai mengusapkan salep yang ia ambil tadi ke wajah Jeno menggunakan katembat.

Baru saja ujung katembat itu menempel, Jeno dengan segera menepisnya kasar, membuat sepotong katembat itu terlempar dan jatuh ke lantai.

Dinda membolakan mata terkejut, mulutnya pun ikut menganga saat Jeno yang tiba-tiba saja menepisnya.

"Gua nggak mau pake itu." Ucap Jeno acuh, sedangkan Dinda semakin bingung. Bukan kah bagus jika ia menggunakan katembat, karena setidaknya akan lebih steril.

"Nanti kapas-kapasnya nempel dimuka gua, pake tangan lu aja." Lanjut Jeno sambil memalingkan wajahnya.

Awalnya Dinda bingung, namun selanjutnya ia mengikuti apa yang Jeno inginkan, mengoleskan salep pada pipi memar Jeno menggunakan jari terunjuknya.

"Makasih." Ucap Jeno saat Dinda sudah selesai mengoleskan sebuah salep yang Jeno tak tau mereknya apa itu kewajahnya, Dinda hanya membalasnya dengan sebuah deheman.

Ineffable • Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang