"Ini sekolah kamu?"
Dinda turun dari atas motor lalu mengangguk sebagai bentuk jawaban atas pertanyaan Esa.
"Yaudah, sekolah yang bener, jangan main-main, jangan pacaran." Esa seperti seorang ibu yang sedang menasehati anaknya. Ia juga membelai rambut sebahu Dinda dari atas kebawah.
Dinda tersenyum, ia lalu mengangguk seperti anak kecil yang senang karena diberikan sebuah eskrim.
"Udah ya, kak Esa balik."
"Iya kak, hati-hati." Dinda melambaikan tangannya pada Esa yang juga melambai kearahnya. Ia lalu masuk kedalam sekolah saat kak Esa sudah tak terlihat dimatanya.
Saat melewati parkiran sekolah, pandangan mata Dinda mengedar. Entah lah, ia mengharapkan bisa melihat sosok Jeno disini. Dan benar saja, Jeno ada disana sedang memarkirkan motornya sambil berbincang dengan Renjun.
Mata mereka bertemu, membuat Dinda sedikit tersentak. Ia lalu menunduk sambil berjalan cepat menuju kelasnya. Tapi baru beberapa langkah ia berjalan seseorang sudah menarik tangan Dinda dan membawanya pergi. Orang itu sudah pasti Jeno.
Jeno mengajak Dinda kepojok sekolah, tak ingin Olla melihat mereka. Ya, sampai sekarang Jeno belum putus hubungan sama Olla.
"Ngapain si Jen!" kali ini Dinda membentak, itu berhasil membuat Jeno tercengang. Tak bisanya Dinda bersikap begini.
"Kamu kok ngebentak gitu?"
"Emang kenapa? Lagian kamu ngapain baru dateng langsung narik-narik aku gini?"
Dinda berusaha melepas cengkraman tangan Jeno di tangannya yang semakin lama semakin mengencang dengan cara memutar tangannya. Bukannya terlepas, tangannya malah terasa semakin sakit. Dinda meringis kesakitan.
"Sakit kan? Makannya jangan berusaha dilepas, lagian kok jadi kamu yang marah-marah? Harusnya aku yang marah sama kamu. Kemarin pulang bareng Jaemin, sekarang dianter sama cowok lain lagi, ngelus kepala segala. Kamu mikir nggak?!" Jeno tersulut emosi, matanya sudah mengisyarat bahwa ia sedang marah.
Dinda masih berusaha melepas, kini ia juga menggunakan satu tangannya yang bebas untuk memukul-mukul lengan Jeno. matanya sudah berkaca-kaca. Tak pernah ada laki-laki yang berkata sekencang ini padanya. Bahkan ayahnya pun tidak pernah.
"Apa? Mikir apa? Jaemin cuma antar aku pulang, yang tadi juga cuma temen. Kamu kenapa kaya gini sih?"
"Apa? Cuma temen? Temen kok elus-elus." Jeno kembali mengeraskan cengkramannya, mungkin pergelangan tangan Dinda sudah memerah sekarang.
"Lepasin Jeno... Sakit..." Suara Dinda sudah terdengar aneh karena menahan tangisnya.
Karena sedari tadi Dinda menundukan kepala, Jeno memegang rahang Dinda lalu menariknya untuk menatap wajahnya, ia tidak suka jika lawan bicaranya tidak menatap dirinya.
Mata mereka bertemu, dan saat itu juga air mata Dinda lolos. Jeno tersentak melihatnya, Dinda mulai sesenggukan. Jeno kelabakan!
"Bego," yang bisa ia lakukan saat itu hanya memeluk Dinda, membawa wajah sembab perempuan itu tenggelam dalam dadanya. Jeno menyesal, ia tidak sadar karena terbawa emosi.
"Sakit Jeno.... Hiks—"
"Maaf." lirih Jeno berbisik tepat ditelinga Dinda, sembari mengelus kepala Dinda.
"Udah jangan nangis lagi, maafin aku, aku kebawa emosi."
Perlahan tangis nya mereda, Dinda menjauhkan wajahnya dari dada Jeno lalu mengusap air mata yang berada diwajahnya. Jeno langsung nyerobot, mengambil alih, perlahan mengusap air mata Dinda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable • Lee Jeno
Genç KurguJeno dengan segala pesonanya yang terlalu hebat dan luar biasa untuk digambarkan dengan kata-kata. ... Awal emng aneh, tapi lanjut aja terus sampe tengah, siapa tau jd suka. Note : Suka ganti-ganti cover ║▌│█║▌│ █║▌│█│║▌║ ©yeloratchet ≈ 2019