Semalam merupakan pengalaman yang paling ber arti bagi Jeno, sangking ber artinya ia merasa sangat berdosa. Imannya tidak sanggup menahan desakan para iblis yang sedang ber koar malam tadi.
Ini gila, ia sudah merusak masa depan seseorang, atau mungkin masa depannya juga akan ikut hancur.
Jeno menatap langit-langit kamarnya sebelum mengacak-acak rambutnya kasar yang mana berhasil membuat sedikit pergerakan, membuat Dinda merasa terusik dari mimpinya.
Jeno menoleh saat merasa Dinda yang berada di sebelahnya bergerak seperti merenggangkan otot-otot tubuhnya yang masih kaku. Jeno memutar badan membelakangi Dinda, berpura-pura jika saja Dinda terbangun seakan dirinya masih tertidur nyenyak, ia ingin tau apa yang akan dilakukan Dinda.
Perlahan Dinda membuka mata, dengan selimut tebal yang masih menutup seluruh tubuhnya ia mengedarkan pandangan keseluruh sudut ruangan hingga terpaku pada satu objek yang berada di sebelahnya.
Bahu lebar tanpa busana itu terpampang tepat di depan mata Dinda. Potongan-potongan kejadian semalam kembali berterbangan di dalam pikiran, mata Dinda memanas, semalam ia sudah berbuat dengan Jeno. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan di umur segini.
Dinda merasa rusak, ia kecewa, kecewa dengan dirinya sendiri. Ia cukup sadar bahwa yang semalam itu merupakan bagian dari kesalahannya juga. Dengan bodohnya ia memaksa Jeno untuk melakukan hal kotor itu.
Hanya karena kak Esa, pikiran Dinda berubah kacau. Ia ingin membalas kekecewaannya pada orang itu, tapi ia malah memilih cara yang seperti ini.
Akhirnya air mata itu jatuh, turun begitu deras hingga menghasilkan isakan-isakan yang terdengar sangat keras, Dinda meringkuk memeluk tubuhnya yang terasa kotor.
Jeno merasa sesak di dada mendengar isakan pilu yang keluar dari mulut Dinda. Ini salahnya, semua ini kesalahannya, ia sudah merusak gadis ini.
"Maaf," Jeno berbalik memutar tubuhnya menghadap Dinda yang juga memunggunginya, ia memeluk tubuh itu erat.
Dinda menggelengkan kepala cepat, "Enggak, Jangan merasa bersalah Jeno hiks— ini salah aku, aku hiks— aku yang udah mancing kamu." Dinda tidak menolak pelukan Jeno, untuk apa? Semua juga sudah terjadi tak ada alasan lagi untuk dia menolak, ia sudah kotor.
"Aku janji, aku nggak akan ninggalin kamu kemanapun dan sampai kapanpun. Aku bakal tanggung semua yang bakal terjadi nantinya, bahkan kalau nantinya kamu...." jawaban Jeno menggantung, ia ragu untuk mengatakannya.
Dinda paham, kata apa yang akan Jeno ucapkan, bayang-bayang jika dirinya hamil diusia muda seperti ini membuatnya takut. Bagaimana kelanjutan hidupnya? Bagaimana sekolahnya? bagaimana perasaan ibu dan— ayahnya...
Air mata semakin deras mengalir tat kala mengingat sang ayah, betapa kecewanya ayah bila mengetahui anaknya sudah melakukan hal seperti ini.
"Hiks— Aku takut...."
Jeno memutar badan Dinda agar orang itu berhadapan dengan nya. Mata merah sembab itu akhirnya bertemu dengan netra tajam miliknya. Jeno menatap mata itu dalam-dalam, berusaha membubuhkan kesungguhan atas pernyataannya.
"Percaya sama aku," tekan Jeno sembari mencengkram kedua pundak Dinda.
Lagi-lagi bola mata Dinda kembali mengkristal. Isakan kembali keluar dari bibir manisnya. Untung rumah Jeno dan tetangga sebelah sedikit memiliki jarak, jika saja tembok mereka berdempetan mungkin orang sebelah akan sangat terganggu dengan suara tangis di jam 2 pagi begini.
Jeno kembali memeluk Dinda, menenggelamkan wajah sembab itu pada cekungan lehernya. Jeno mengusap kepala Dinda lembut, berharap Dinda mendapat kenyamanan dari perlakuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable • Lee Jeno
Genç KurguJeno dengan segala pesonanya yang terlalu hebat dan luar biasa untuk digambarkan dengan kata-kata. ... Awal emng aneh, tapi lanjut aja terus sampe tengah, siapa tau jd suka. Note : Suka ganti-ganti cover ║▌│█║▌│ █║▌│█│║▌║ ©yeloratchet ≈ 2019