...
"Jen, gua sih nggak tau ya masalah lu sama Dinda itu apa- dan gua juga nggak mau ikut campur dalam urusan kalian."
"Tapi sumpah ya Jen, lu jahat banget, jahatttt banget, dia sampe keluar gitu dari kegiatannya." Lanjut Suci.
Jeno hanya diam, sesekali ia menyedot teh kotak yang berada ditangannya. Saat ini adalah jam istirahat ke dua, saat dimana semua orang makan karena lapar. Tapi entah kenapa kali ini ia tidak merasa ingin makan, nafsunya hilang entah kemana.
"Ya terus gua harus apa?" tanya Jeno sambil memainkan bungkus teh kotak ditangannya yang sudah hampir habis.
Suci menghela nafasnya berat, ia juga tidak tau apa yang harus Jeno lakukan sebenarnya. Berfikir pun tidak menghasilkan apa-apa, karena ia tidak tau apa permasalahannya, dan- dia juga tidak mau tau dan terlibat dalam permasalahannya.
"Gua mau minta maaf, tapi gua yakin dia nggak akan mau ketemu gua." Jeno sudah mengira dan Suci pun mengangguk-anggukan kepala tanda setuju dengan apa yang dikatakan Jeno barusan.
"Iya, lu kalo mau minta maaf jangan sekarang. Cita-cita dia itu mau jadi dokter, nggak tau deh gimana keadaan hatinya sekarang." Ujar Suci.
Jeno lumayan terkejut mendengarnya, berarti ia sudah sedikit menggagalkan mimpi seseorang. Pikirnya.
Jeno mengacak-ngacak rambutnya frustasi sambil mengerang tertahan. Dari awal ini semua memang salahnya, dan sampai kapan pun pasti akan menjadi kesalahannya. Tak seharusnya Jeno seperti ini.
"Mending sekarang lu pikirin deh, gimana caranya biar Dinda maafin lu dan dia bisa balik jadi anggota PMR. Gua balik kelas duluan, kasian Dinda sendirian," ujar Suci sambil beranjak dari duduknya untuk kembali ke kelas.
...
Sudah satu tahun yang lalu kejadian itu terjadi, namun terkadang Jeno masih suka memikirkannya.
Dari kejauhan ia masih suka memperhatikan Dinda yang sudah lama ini mengikuti kegiatan ekskul Seni rupa-anak itu benar-benar tidak kembali ke ekskul lamanya.
Sering Jeno lihat Dinda melukis dan menggambar ditaman belakang sekolahnya yang memang asri dan merupakan spot terbagus untuk melukis, terlebih disana sangatlah sepi.
Jeno masih mengagumi, mengagumi sosok bernama Dinda Faneshilla putri. Sejauh ini rasa yang ia miliki hanya sebatas mengagumi, belum jauh sampai dimana ia menyukai perempuan itu.
Bagaimana Jeno bisa jatuh cinta? jika selama setahun ini saja mereka tidak pernah mengobrol atau bahkan saling bertatapan barang sekali pun.
Sudahlah, tidak penting memikirkan seseorang yang belum tentu memikirkan kita juga. Lebih baik Jeno segera mengantarkan tumpukan buku tugas matematika ini ke ruang guru sebelum jam istirahat berakhir.
Selalu saja Pak Nampartin merepotkannya. Memerintahnya untuk mengumpulkan tugas, membawakan tas dia, mengembalikan infokus, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Entah sudah keberapa kalinya Jeno protes, Kenapa harus dia? Kenapa selalu dirinya yang disuruh-suruh?
"Karena badan kamu besar.. Saya yakin kamu pasti kuat."
Selalu itu jawabannya. Pernah Jeno membalas, Kenapa nggak Rodi aja yang disuruh? Badan dia kan jauh lebih besar dari Jeno.
Dan jawaban pak Nampartin pasti,
KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable • Lee Jeno
Teen FictionJeno dengan segala pesonanya yang terlalu hebat dan luar biasa untuk digambarkan dengan kata-kata. ... Awal emng aneh, tapi lanjut aja terus sampe tengah, siapa tau jd suka. Note : Suka ganti-ganti cover ║▌│█║▌│ █║▌│█│║▌║ ©yeloratchet ≈ 2019