Dinda menutup pintu kelasnya setelah semua peralatan piket sudah ia rapihkan. Resiko jadi seksi kebersihan, selalu pulang paling terakhir.
Untung semua soal matematika dari pak Nampar sudah ia selesaikan. Untung saja ada Jeno yang tadi membantunya.
Keluar dari gerbang sekolah ia baru membuka ponselnya yang seharian ini hanya ia letakan didalam tas. Aplikasi yang pertama kali ia buka adalah WhatsApp.
Wajahnya berubah muram saat melihat pesan yang 1 jam lalu dikirim oleh Bundanya.
"Ahh... Bunda mah kebiasaan... Kalo nggak bisa jemput bilangnya tiba-tiba mulu. Ck."
"Nggak ada yang jemput? Yuk gua anter."
Dinda menoleh disebelah kanannya, menemukan Jaemin yang duduk diatas motor vespa berwarna coklatnya. Jaemin mau nganterin dia?
"Nggak- nggak usah Jaem, kamu pulang duluan aja." tolak Dinda secara halus, tapi Jaemin tidak pergi dari hadapannya. Dinda malah dibuat tersentak saat orang itu malah mengancamnya.
"Sekolah udah sepi, gua panggilin pak Tayo orang gila yang dipertigaan mau? Biar lu di perkosa sama dia disini."
Saat itu juga bulu kuduk Dinda meremang. Dirinya kembali teringat kejadian satu tahun lalu, saat Jeno yang memaksa ingin mengantar pulang dan mengancamnya dengan sebuah celurit kecil. Ini kenapa nggak ada yang beneran dikit?
"Gua itung sampe tiga kalo lu nggak naik gua beneran panggil, satu! Dua-"
Dinda langsung duduk nangkring diatas motor Jaemin sebelum mencapai hitungan ke tiga. Jaemin tersenyum senang, ia juga sempat tertawa tanpa suara.
"Nggak Jeno, nggak temennya, kalo ngancem yang cari kematian mulu." gerutu Dinda saat Jaemin mulai melajukan motornya.
Dinda tersentak saat Jaemin yang tiba-tiba menarik satu tangannya dan melingkarkannya dipinggang Jaemin. Ia ingin menarik kembali tangannya, tapi malah Jaemin menahan.
"Pegangan, biar ga jatoh." kata Jaemin masih menahan tangan Dinda, tanpa disadari ia malah mengelus-elus tangan Dinda.
Dinda yang mendapat perlakuan seperti itu hanya bisa terdiam dengan degupan jantung yang sudah tidak karuan dibalik dadanya. Matanya memejam, ia jadi teringat dengan kejadian dimana Jeno memeluk serta menghapus air matanya.
Astaga! Sudah-sudah, ia tidak boleh terus memikirkan Jeno. Ya tapi bagaimana ia bisa melupakan Jeno sekarang? Orang itu hari ini menyatakan perasaannya, ditambah ia juga berkata bahwa ia juga menyukai Jeno. Huft, memalukan.
"Kenapa nguap? Ngantuk?" tanya Jaemin saat mendengar nafas Dinda. Ia mengira Dinda menguap, padahal sebenarnya itu helaan nafas.
Karena tak ingin Jaemin curiga dan bertanya-tanya lebih jauh Dinda langsung menganggukan kepalanya cepat, "Iya, aku ngantuk, capek."
Percayalah, dari tadi tangan Dinda masih dipegangin sama Jaemin. Dinda mau bilang ke Jaemin untuk lepas tangannya, tapi Dinda terlalu takut. Jaemin juga sepertinya tidak sadar, sentuhannya juga lembut tanpa tekanan.
Jaemin sedikit memundurkan kepalanya, mendekatkan kepalanya dengan kepala Dinda supaya suaranya terdengar oleh Dinda, "Abis dari sini kemana lagi?" Jaemin menanyakan arah saat di hadapannya ada sebuah pertigaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable • Lee Jeno
JugendliteraturJeno dengan segala pesonanya yang terlalu hebat dan luar biasa untuk digambarkan dengan kata-kata. ... Awal emng aneh, tapi lanjut aja terus sampe tengah, siapa tau jd suka. Note : Suka ganti-ganti cover ║▌│█║▌│ █║▌│█│║▌║ ©yeloratchet ≈ 2019