9 - Tawuran

175 32 8
                                    

...

"Yah..Din, kalo gini kamu pulang sama siapa?"

Tidak membalas pertanyaan dari Lysa, Dinda hanya diam memikirkan bagaimana caranya ia bisa pulang.

Sebelum baterai ponselnya habis, Bunda sempat mengirim pesan yang berisi bahwa dia tidak bisa menjemput Dinda karena ada keperluan mendadak.

"Pulang bareng aku aja mau?"

Dinda langsung menggelengkan kepalanya cepat, "nggak mau, lagian juga arah rumah kita beda, kasian jemputan kamu, aku jalan kaki aja."

"Beneran?" tanya Lysa.

Dinda mengangguk, "Iya, udah ya aku jalan duluan, kamu nunggu sendiri disini gapapa kan?" gini giliran Lysa yang mengangguk.

"Hati-hati Din!" seru Lysa saat Dinda sudah mulai melangkah meninggalkannya.

...

"Woy! Bangsat maju Lu Anjing!"

Dengan semangat serta emosi yang sudah menggebu-gebu, anak SMA 64 Berlari, menghampiri lawan mereka yang merupakan anak STM. Kali ini Mark, Jaemin, dn Eric memimpin di depan.

Biasanya Jeno yang memimpin, tapi kali ini ia tidak bisa berlari di didepan karena keadaan kakinya yang belum sembuh total. Tiga hari yang lalu entah anak dari sekolah mana tiba-tiba menyerempetnya, mengakibatkan ia terjatuh dari motor.

Jeno akan mencari siapa pelakunya, jika bertemu nanti, Jeno pastikan anak itu akan bernasib sama seperti dirinya, atau bahkan akan ia buat lebih parah dari apa yang ia rasakan saat ini.

Dua kubu itu kini menjadi satu, walaupun didominasi oleh anak-anak STM. Suara peraduan alat tempur mereka juga semakin lama semakin terdengar keras.

Kali ini Jeno menggunakan ikat pinggang yang ia pegang ditangan kanannya dan teman setianya yaitu sebuah celurit kecil yang ia pegang di tangan kirinya.

Dinda mendengus sebal, ia berjalan sambil menghentak-hentakan kaki, bibirnya juga terlipat kebawah. Kenapa hari ini ia harus bernasib sial sih?

Dimarahi guru matematika karena lupa membawa buku pr, pulang sekolah tidak dijemput, dan sekarang? Jalan yang biasa ia lewati ditutup karena sedang ada perbaikan. Seorang bapak-bapak pun mengarahkannya untuk lewat dijalan sepi ini, yang katanya tembusannya bakal sama, cuma jaraknya lumayan jauh.

"Ahk! Tau ah kesel," keluh Dinda sambil mengusap peluh yang membanjir dipelipisnya. Saat selanjutnya alisnya berkerut, mendengar seperti suara banyak orang yang berseru-seru.

"Jaman sekarang masih ada orang yang ngadu burung dara ya? hebat juga." Dialognya sendiri lalu mempercepat langkah kakinya agar segera sampai dirumah.

Semakin lama suaranya semakin terdengar, umpatan-umpatan juga semakin terdengar jelas. Kok ngadu burung dara kaya orang berantem? Pikir Dinda mulai merasa ragu, perasaannya juga mulai tidak enak.

Ia ingin berbalik kembali, tapi ini sudah setengah dari perjalanannya, "Eugh! Lagian ini hape kenapa harus abis batre sih!" kesalnya sambil membentur benturkan benda pipih itu ke telapak tangannya, berharap benda itu bisa kembali menyala.

Merasa seperti orang Bodoh, ia kembali memasukan ponsel itu kedalam sakunya, dan saat dirinya kembali menatap kearah depan, matanya membelalak. Tubuhnya bergetar hebat, air keringat pun mulai kembali bercucuran dipelipisnya.

Ineffable • Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang