Delapan belas

8.2K 525 8
                                    

Cek mulmed🎶
Finneas - Break My Heart Again
__________

Rumah adalah tujuan utamanya saat ini. Hatinya sudah sangat kebas untuk menerima cacian orang-orang yang menyebut dirinya manusia namun memiliki mulut iblis seperti mereka. Jika saja hatinya bukan Tuhan yang membuatnya, mungkin organ itu kini sudah meledak dengan kepingan-kepingan halus tak kasat mata saking hancurnya.

Mella menatap kertas yang sudah membentuk bola ditangannya. Itu rahasianya, aibnya. Tidak seharusnya orang lain tahu. Sekarang untuk memandang seseorangpun ia malu. Mungkin orang itu sudah tahu dia adalah anak dari seorang pelacur, dan kini bakat itu sudah mulai terasah di dirinya. Apakah dia harus berbangga diri sekarang?

"Mella, tunggu!"

Termasuk Dimas, dia seharusnya tidak tahu dan tidak mengurusi urusannya. Mella semakin mengencangkan larinya di pinggir trotoar. Mengeratkan jaket Dimas yang tersampir dibadannya, Mella berlari tanpa menoleh.

Entah bagaimana suasana sekolah setelah peninggalannya, Mella tak tahu. Mungkin sekarang para guru sedang rapat untuk merencanakan surat pengeluarannya. Dan para siswa sedang membicaran dirinya dan ibunya yang ia yakini tengah bergelut dengan api neraka.

"Mella!"

"Apa?! Kenapa?!" Mella berteriak setelah sentakan kuat pada bahunya ia rasakan. Kedua tangannya menutupi wajahnya yang kembali mengucurkan air. Kemudian hangat, Dimas memeluknya.

"Kenapa mengejarku ...?" Mella terisak pelan. "Seharusnya sekarang kamu memilih menjauh saja."

"Ya Tuhan, Mella ...."

Dimas semakin mengeratkan dekapannya pada tubuh rapuh Mella. Mengusap punggungnya yang bergetar berharap itu bisa sedikit menenangkan.

"Ibuku pelacur. Semua orang sudah tau itu sekarang. Kamu lihat kertas yang tersebar? Semuanya tentangku, ibuku."

Dimas diam, tetap mengusap punggung Mella. Isakannya semakin keras, sesekali segukan terdengar sebagai selingan.

"Sekarang kamu tau kan darima mana aku belajar menggoda orang." Kekehan pelan yang terdengar menyakitkan keluar dari bibir Mella yang bergetar. "Sebenarnya aku tidak pernah mempelajari hal itu. Otodidak. Keturunan mungkin." Mella kembali terkekeh, kemudian mengangis lagi.

Perasaannya campur aduk. Malu, takut, marah, dan yang mendominasi adalah sesal. Kenapa ia tak mati saja bersama ibunya saat insiden kebakaran itu. Mella rasa akan lebih mudah jika dia benar-benar mati saat itu. Setidaknya dia akan tenang karena tidak mendengar seruan-seruan kebencian dari mereka.

"Caramella ..." Dimas melirih, tidak menyangka dengan fakta yang baru saja terkuak ke permukaan.

Gambar potongan surat kabar yang sudah menguning dengan judul yang hampir menjelaskan semua isi berita, terpampang jelas diseluruh sudut sekolah. Caramella, Rumah Bordil yang Terbakar Dengan Jumlah Korban Mencapai Belasan Jiwa.

Itu namanya, dan ibunya bisa-bisanya menamai tempat pelacuran itu sama seperti dirinya. Tidak ada yang bisa dia tutupi lagi. Membela diri juga terdengar percuma. Tidak akan ada yang mendengarnya saat semua orang sudah berspekulasi seperti itu. Dan kenyataannya memang begitu.

"Dimas ..." panggil Mella pelan, berusaha menahan tangis yang sudah mencapai tenggorokannya. "Dimas ..." Sekali lagi Mella memanggil lirih. Tangannya meremas kuat bagian depan baju seragam Dimas.

LOST [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang