Dua puluh satu

8.5K 480 6
                                    

Cek mulmed🎶
Passenger - Let Her Go
__________

Dimas terbangun dengan perasaan kosong di dadanya. Otaknya kembali memutar kejadian demi kejadian yang terjadi seperti mimpi padanya kemarin. Kenapa harus sampai seperti itu? pikirnya menyesal.

Tangannya mencari-cari ponsel yang ia abaikan sejak semalam, kemudian menemukannya di bawah kakinya. Melihat panggilan dan pesan yang dikirim Mella membuat pikirannya kembali berkecamuk, dia butuh ruang untuk sekedar bernapas dengan lega, setelah tertimpa kejadian mengerikan itu. Seolah-olah tali yang menjerat leher Nadine ikut ia rasakan, dan parahnya seperti tak mau terlepas.

Tanpa gairah, Dimas turun dari ranjang dan keluar kamar menuju dapur di lantai bawah. Perutnya terus berontak karena tidak sempat diisi sejak kemarin. Terkejut melihat kehadiran papanya yang sudah rapi, duduk di ujung kursi meja makan yang mampu menampung delapan orang. Kenapa tumben sekali? Biasanya Andrew hanya mengiriminya uang sebagai bentuk tanggung jawabnya, selebihnya tidak ada. Hanya rumah kosong yang di datangi pembantu setiap pagi dan pergi lagi ketika sore hari.

Dimas tidak ingin tahu di mana Andrew tinggal selama ini, dia memiliki banyak uang untuk mengurus hidupnya sendiri. Begitu pun Dimas, dia merasa tidak membutuhkan Andrew lagi, hidupnya sudah cukup dengan uang yang tidak pernah absen masuk ke rekeningnya.

"Dimas, ayo sarapan."

"Hmm." Dimas tidak menolak, kenapa harus menolak jika perutnya memang lapar. Dia tidak akan susah-susah menahan lapar hanya untuk menjauhi Andrew yang tak pernah memperdulikannya.

Tidak ada obrolan setelah itu, hanya dentingan nyaring sendok dan piring yang saling beradu. Dimas mengunyah santai makanannya, mengabaikan tatapan yang Andrew layangkan kepadanya.

Dimas terkekeh dalam hati. Mencoba mengintimidasinya ya? Pikirnya remeh.

Satu suapa terakhir, dan Dimas kemudian meminum orange jusnya. Dimas sudah akan bersiap-siap pergi dari sana sebelum ucapan Andrew membuatnya mengurungkan niat.

"Kita kembali ke Texas besok pagi." kata Andrew tenang.

"Bukan kita. Aku tidak akan pergi ke mana-mana." Dimas mengunuskan tatapan tajamnya pada Andrew.

"Kamu harus."

"Harus heh? Apa urusannya denganku? Jika anda mau pergi, silahkan saja. Aku tidak akan pergi dari sini."

"Maafkan, Papa. Papa menyesal telah mengabaikanmu selama ini." Andrew melirih pelan, menatap punggung Dimas yang kini sudah berdiri di anak tangga.

"Kau bukan papaku lagi setelah semua ini. Seorang papa tidak akan meninggalkan putranya yang terluka. Apa kau pernah sekali saja menanyakan keadaanku? Apa kau pernah menanyakan penyebab semua nilai di raportku merah? Apa kau pernah memarahiku karena pulang larut bahkan tidak pulang sama sekali? Apa kau pernah menanyakan kenapa aku menangis setiap malam di kamarku yang gelap? AKU TANYA APA PERNAH?!!"

Dimas berteriak marah pada Andrew yang hanya berdiri meremas pinggiran meja makan, menahan rasa pedih karena semua ucapan yang keluar dari bibir puteranya itu tidak pernah ia lakukan.

"Kita harus pergi Dimas. Keluarga Nadine menargetkanmu sebagai pelaku kematian Nadine. Biar pengacara Papa yang akan mengurusnya di sini."

"Ohh ... apa sekarang kau ingin membuangku?" Dimas tersenyum miring. Mengerti kenapa tiba-tiba Andrew memilih pulang dan mengatakan semua itu. Rupanya ada kaitannya dengan nama baiknya.

Hah ... seharusnya Dimas sadar lebih dulu dengan keadaan ini. Andrew kembali hanya untuk membuangnya dan menyelamatkan nama baik keluarga Davila. Bukan semata-mata karena ingin bertemu layaknya papa dan anak yang sedang merindu setelah terpisah lama. Sialan sekali otaknya yang sudah berharap lebih.

LOST [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang