Day 30 Propose

11 3 0
                                    

Sudah menjadi kebiasaan bagi Anindita untuk mengantar Dyo ke bandara. Setidaknya ia dapat melihat Dyo sebelum pria itu terbang ke Kalimantan. Tapi hari ini ada yang berbeda. Dyo yang biasanya memilih penerbangan pagi, hari ini ia sengaja memilih penerbangan siang. Saat Anindita bertanya kenapa? Dyo hanya mengatakan bahwa dirinya masih kangen. Mendengar jawaban cheesy dari Dyo tentu membuat Anindita memutar bola matanya bosan. Dyo itu salah satu tipe orang yang sangat tidak romantis. Jadi ketika mendengar Dyo mengatakan hal tersebut malah membuat orang bergidik ngeri.

Penerbangan Dyo tinggal beberapa menit lagi. Anindita menatap sekelilingnya, orang-orang mulai sibuk memberi wejangan pada orang yang akan berangkat.

"Kak, aku harus kasih wejangan juga nggak?" tanya Anindita.

"Aku lihat orang-orang kasih wejangan gitu." Lanjutnya.

"Nggak usah. Biar gue aja yang kasih wejangan." Jawab Dyo. Ia lalu memegang bahu Anindita lembut.

"Satu, jangan deket sama cowok lain. Apalagi Arvin." Dyo menatap Anindita tajam saat melihat bahwa gadis itu akan menginterupsinya.

"Dua, jaga kesehatan. Jangan sampai sakit." Lanjutnya.

"Tiga dan terakhir, jadi mempelai gue ya?" ajak Dyo. Anindita yang belum sadar dengan ajakan Dyo hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Iya kak." Jawab Anindita pada akhirnya.

"Jadi lo mau?" tanya Dyo kaget bahwa Anindita menerima lamarannya secepat itu.

"Mau sehat? Iyalah. Siapa coba yang mau sakit?" tanya Anindita berapi-api. Dyo menghela nafas panjang. Susah memang berhubungan dengan seseorang dengan tingkat kepekaan nol.

"Bukan itu. Lo mau jadi istri gue nggak?" Ajak Dyo gamblang. Memang seperti ini seharusnya jika berbicara dengan Anindita. Tidak perlu kode rumit. Cukup katakan dengan jelas maksud perkataannya apa.

"Hah? Ini lamaran? Atau lagi prank?" tanya Anindita tidak percaya. Bagaimana mungkin ia akan percaya pada seseorang yang mengajaknya menikah dengan wajah datar dan seolah tidak peduli? Mungkin ia akan sedikit percaya jika Dyo memasang wajah penuh pengharapan.

"Pernikahan bukan buat mainan ya. Gue serius lah." Jelas Dyo.

"Mau jawab sekarang atau nanti? Ini nomor penerbangan gue bentar lagi dipanggil." Tuh kan, mana ada laki-laki yang sebelumnya melamar tiba-tiba memaksa mendapatkan jawabannya saat itu juga.

"Masa kita ngomongin lamaran disini?" tanya Anindita sewot.

"Sebelumnya kan kita udah pernah ngomongin. Visi misi gue pengen nikah. Nerima lo apa adanya. Terus kemungkinan kalau kita nggak punya anak. Udah dibahas semua." Jelas Dyo. Memang sebelumnya Anindita pernah membeberkan hal apa saja yang akan ia tanyakan pada calon suaminya nanti. Anindita sempat bingung karena Dyo malah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan santai.

"Gue juga udah ijin sama orangtua lo, termasuk Erlangga, Mahesa sama Aditya. Dan mereka setuju."

"Orangtua gue juga setuju kalau calonnya elo." Anindita melongo mendengar penjelasan Dyo. Selama ini Anindita bahkan tidak tahu status hubungannya apa dengan Dyo. Lau tiba-tiba Dyo melamarnya.

"Kalau aku nggak setuju?" tanya Anindita penasaran.

"Come on, don't play hard to get gitu dong Di. Lo pikir selama ini kita pacaran ngapain kalau juntrungannya bukan ke pelaminan?" Dyo menatap kesal Anindita yang saat ini malah menunjukkan ekspresi terkejut.

"Kita pacaran memang selama ini?" 'Ya Tuhan, kuatkanlah diri saya untuk menghadapi makhluk tak peka ini' batin Dyo.

"Jadi selama ini cuman gue doang yang mikir kalau kita pacaran?" tanya Dyo heran. Selama ini ia bahkan harus selalu pulang saat ada kesempatan cuti. Bulak-balik Kalimantan-Bandung karena rindu melanda. Lalu ia harus menghadapi kenyataan bahwa hanya dirinya yang menganggap hubungan mereka berpacaran?

"Lah kakak nggak pernah ngomong kalau kita pacaran." Sahut Anindita tidak mau disalahkan.

"Oke, kita berhenti ngomongin soal pacaran. Waktu kita mepet."

"Jadi lo mau nggak nikah sama gue?" tanya Dyo tidak sabar. Anindita berpikir sejenak. Menimbang kemungkinan baik dan buruk Dyo nanti sebagai kepala keluarga. Setelah dirasa bahwa lebih banyak keuntungannya dibanding kerugiannya maka dengan pasti Anindita mengangukkan kepalanya.

"Oke kak, aku mau." Jawab Anindita lantang.

Locked by YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang