A Drop Of Something Phenomenal

252 39 23
                                    

"Permisi, ini tehnya, maaf lama," Seorang pelayan datang menghampiri meja Akutagawa dan Chuuya yang tengah berbicara berdua itu sambil tersenyum ramah.

"Arigatou," Ucap Akutagawa sambil secara perlahan meniup tehnya dengan asap masih mengepulnya itu.

"Akutagawa-kun, aku boleh bertanya sesuatu?" Tanya Chuuya, menunggu reaksi dari Akutagawa yang tengah menyeruput tehnya yang baru datang itu.

"Ehm... silakan saja sih," Ujar Akutagawa memberi izin.

"Kalau begitu... kau kenapa memilih untuk menjadi artis? Bukankah sebelumnya kau pernah bilang tidak suka menjadi pusat perhatian masyarakat?" Tanya Chuuya hati-hati, takut merusak suasana hati Akutagawa lagi.

Akutagawa tidak langsung menjawab. Ia terdiam dan berpikir sejenak, lalu menghela napas pelan, "Memang dari awal adikku juga sudah bertanya demikian,"

"Tunggu, apakah adikmu itu Gin dari divisi kostum dan tata busana itu?" Tanya Chuuya memastikan.

"Benar, itu dia,"

"Sudah kuduga! Kalian mirip sekali, memang cocok bersaudara. Kemampuan Gin dalam merancang kostum sangat cocok untuk setiap latar tema yang diberikan padanya lho, kinerjanya juga sangat baik," Ujar Chuuya sambil tersenyum lebar.

"Kau suka pada adikku ya?" Tanya Akutagawa tanpa basa-basi.

Chuuya yang sejenak terdiam itu seketika langsung tertawa kecil, "Astaga... kau ini sangat sensitif, tentu saja tidak. Kau tak perlu bereaksi seperti itu,"

"Oh, maaf, mungkin hanya aku yang terlalu sensitif akan segalanya," Ujar Akutagawa meminta maaf sekali lagi.

"No, no, tak perlu meminta maaf. Aku paham orang sepertimu pasti memiliki alasan kenapa bersikap seperti ini. Apalagi kau pernah bilang, kau tidak suka menjadi pusat perhatian kan?" Kata Chuuya lembut, "Ternyata kau orang yang rendah hati juga, tidak sulit meminta maaf meskipun sebenarnya bukan sepenuhnya kesalahanmu,"

Akutagawa menatap Chuuya dengan tatapan yang sedikit berbeda, tatapan hangat yang sudah tidak mengandung kecurigaan atau kebencian lagi, melainkan tatapan percaya dan ketenangan, yang jujur saja ia tak pernah berikan pada orang lain selain adiknya. Sementara Chuuya masih tersenyum tulus, ikut menyeruput teh Chamomilenya itu.

"Nee, Akutagawa-kun, kalau kau mau, kau bisa merasakan hal yang lebih tenang kalau minum teh yang kuminum ini : Chamomile tea, cocok untuk kamu yang mau bersantai. Wanginya juga sepertinya cocok. Kau ini suka teh kan?" Tanya Chuuya lagi.

Perhatian sekali, sekejap saja minuman kesukaan Akutagawa sudah terkuak hanya dalam dua kali pertemuan. Sekali lagi membuat Akutagawa merasa bahwa Chuuya bukan orang biasa yang seenaknya berbicara begitu saja.

"Ya, aku suka teh. Terkadangaku suka membuatnya di rumah. Hanya saja kali ini aku bangun kesiangan, biasanya aku bangun pukul 4 pagi," Jelas Akutagawa sambil kembali meminum tehnya.

"Hah? Jam 4 pagi? Aku saja bangun pukul 5.30, untuk apa bangun sepagi itu? Bukankah tidurmu jadi terlalu singkat?" Tanya Chuuya lagi.

"Uh... tidak sih, sudah menjadi kebiasaan setiap hari,"

"Dasar... seorang artis harus bisa menjaga dirinya lho," Chuuya menggelengkan kepalanya, "Oh ya, kau tidak sekali memesan sarapan di sini? Sepertinya mereka menyediakan roti bakar atau croissant mini di sini,"

Akutagawa hanya menggeleng, "Aku tidak biasa sarapan,"

Pernyataan Akutagawa membuat Chuuya mengerutkan dahinya, "Yang benar saja?"

"Kenapa?"

"Kau tidak pernah sarapan?" Tanya Chuuya menatapnya dengan heran.

"Tidak, aku tidak biasa dengan sarapan," Jawab Akutagawa, "Lagipula aku tidak apa-apa kok,"

Chuuya menatap Akutagawa dengan tatapan kosongnya, membuat Akutagawa memalingkan pandangannya. "Kenapa dia mengawathirkan soal pola makanku? Gin memang juga berbuat demikian, hanya saja ia tak pernah memelototiku seperti ini," Batin Akutagawa.

"Kau yakin kau tidak merasa lapar atau pusing setiap pagi?" Tanya Chuuya, "Aku tahu betapa padatnya jadwal para artis setiap hari,"

"Tidak?" Jawab Akutagawa tanpa sengaja mengeluarkan nada bertanya.

"Kau bertanya. Baiklah, lebih baik kau makan saja, bagaimana kalau kau sakit saat bekerja," Ujar Chuuya, beranjak dari kursinya hendak memesan roti bakar.

"Chotto—"

"Tidak ada tapi-tapian," Ujar Chuuya tidak menghiraukan Akutagawa yang hanya bisa diam menatap Chuuya yang berjalan ke meja kasir itu.

Akutagawa hanya duduk diam, memainkan jari-jarinya di meja, mengetuk-ngetukkannya dengan seirama. "Kenapa malah dia yang panik sendiri coba?" Batin Akutagawa. Memang sih sebelumnya ia mau menghentikan Chuuya, tapi sudahlah, pikirnya.

"Roti bakar mentega, sukakah?" Tanya Chuuya sambil meletakkan sepiring roti bakar di hadapan Akutagawa yang melihat roti itu dengan tatapan kebingungan.

"Makanlah, setidaknya ada sedikit makanan yang kau makan," Ucap Chuuya lagi membujuknya.

"Kenapa kau memintaku untuk makan di kala hanya adikku adalah orang terakhir yang mengawathirkan kesehatanku?"

Gaze Upon MusicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang