"Wen"
"Apa Mas?"
"Kamu cantik" Ujar Yogi berdehem canggung dan melirik sedikit kearah Wendy yang masih asik melahap baksonya. Yogi membuka mulutnya kesal. Ternyata Wendy tidak mendengarkan perkataan terakhirnya karena musik Jawa sudah tersetel dengan kerasnya. Ah sialan! Merusak momen.
"Mas ngomong apa sih tadi?" Tanya Wendy dengan penasaran.
"Nggak jadi" Gumam Yogi mengaduk-aduk sotonya tidak bersemangat. Apa ya dia harus mengulangi perkataan tulusnya barusan? Bukanya tulus nanti dibilang modus.
"Lho kok Mas jadi ngambek gitu sih" Rutuk Wendy sambik mengambil sesuatu di dalam tas tanganya. Dan mengeluarkan amplop putih. "Cepetan Mas"
"Iya iya" Jawab Yogi singkat, Wendy menatap Yogi panjang. Lalu menghela napasnya bingung.
Sepulangnya dari kondangan. Yogi langsung masuk ke kamarnya membanting pintu agak keras. Wendy menggelengkan kepalanya sebelum masuk kedalam kamar. Menutup pintu perlahan-lahan agar tidak membangunkan kedua anaknya yang sedang terlelap sambil berpelukan.
Wendy duduk di ranjang mengusap rambut Arin. Semakin lama Arin akan bertambah besar. Dan akan mengenal yang namanya cinta. Air mata Wendy jatuh dengan deras. Jangankan untuk melihat Arin jatuh cinta, melihat Arin mendapatkan halangan yang pertama saja dia tidak. Wendy merasa gagal menjadi seorang Ibu.
Lalu Wendy mengusap kepala Augie, tangisnya semakin deras mengusap rambut Augie dan terisak-isak. Augie menginginkan sosok Ayah di dalam hidupnya. Dia sangat membutuhkanya. Tapi... Wendy tidak sanggup mengatakan semuanya kepada Yogi.
Apa yang akan Yogi pikirkan. Pasti dia marah besar Wendy menyembunyikan Augie selama ini. Dan Wendy tidak sanggup menerima amarah dari Yogi. Yogi menjadi orang yang berbeda ketika marah. Keras, dingin, dan kasar. Wendy tidak ingin menjumpai Yogi yang seperti itu.
Lebih baik dia simpan rapat-rapat semuanya. Lihat saja bagaimana takdir membawa mereka. Biarkan takdir yang menyatukan bahkan memisahkan mereka.
Ya biarkan takdir yang menentukan.
Wendy berdiri melepaskan satu-persatu jepitan yang ada dirambutnya. Dia berdiri di depan kaca, Menatap pantulan wajah sembabnya. Selalu saja dia menangis ketika menatap kedua buah hatinya.
Baru saja Wendy ingin membuka kancing baju terakhirnya. Pintu terbuka pelan menampilkan Yogi yang berdiri dengan napas naik turun.
Yogi terdiam di tempatnya, matanya melotot melihat bagian depan tubuh Wendy yang terbuka. Lalu dia mengalihkan pandanganya kearah lain. Dia langsung merasa bersalah dan takut. Maksudnya takut khilap.
"Maaf Wen, aku nggak tau kalau kamu.. kamu.. ah ya sudah aku tunggu di depan. Aku mau ngomong" Yogi menolehkan kepalanya sekali lagi kepada Wendy yang sepertinya belum paham akan situasi. Lalu Yogi berputar dan meninggalkan kamar dengan mendesah perlahan. Menetralkan degup jantungnya yang rasanya hampir meledak.
"Ya Allah !!!!!!" Jerit Wendy tertahan. Tanganya langsung menyatukan bajunya yang terbuka. Jadi sedari tadi Yogi melihat dirinya setengah telanjang? Ahh betapa malunya Wendy. Kenapa dia bisa begitu bodoh dengan melupakan kegiatanya barusan yang membuka kancing baju. Pantas saja wajah Yogi mupeng begitu.
"Mas Yogi mesum" Kesal Wendy lalu dia masuk kedalam kamar mandi. Masih sambil mengomeli Yogi yang masuk tanpa mengetuk pintu. Memang fungsi pintu untuk apa kalau bukan untuk diketuk.
Hah!
*****
"Aku lihat !! Aku lihat !! Aku lihat !!" Gumam Yogi sambil berjalan mondar mandir di depan kamar Wendy. Salahkan pikiran kotornya yang langsung membayangkan yang tidak-tidak.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasiaku [ COMPLETED ]
Romantika"Biarkanlah, aku yang menanggung ini sendiri. Ia terlalu larut dalam kecemburuannya pada diriku. Namun, aku sedih ketika dia datang bersama putriku dengan wanita lain sebut saja, kekasihnya . Aku cemburu, tak tau aku harus bersikap seperti apa" - We...