16

3.6K 303 5
                                        

Mata Wendy menyipit menyesuaikan cahaya yang masuk kematanya. Diedarkan pandanganya ke sekitar. Ini bukan kamarnya ataupun rumah sakit. Wendy beringsut duduk lalu menyandarkan tubuhnya sambil memijit pelipisnya.

Wendy melihat ke sekitar dengan lebih jelas. Ia berada di sebuah kamar ukuran minimalis. Tetapi rapi dan sangat bersih. Kamarnya pun sangat harum.

Tempat tidur yang sekarang ia tempati, hanyalah spring bed kecil yang hanya muat dua orang.

Seorang pria mendorong pintu dengan kakinya. Dan masuk sambil membawa nampan berisi makanan.

Napas Wendy tercekat di tenggorokan. Ia meremas kuat sprei di bawahanya.

Ia berpikir pria itu menderita tanpanya dan anak-anak. Ternyata tidak ada yang salah, malah pria itu terlihat lebih... ehm.. tampan dan dewasa mungkin.

"Sudah bangun?" Wendy menjauh saat pria itu mendudukan dirinya di kasur tempat Wendy duduk. Wendy bersedekap sambil menatap kearah lain.

Helaan napas berat membuat Wendy menunduk. Wajahnya mulai memanas. Tidak! Ia tidak boleh terlihat lemah dihadapan pria itu. Atau kepalanya akan membesar. Ia pikir Wendy tidak bisa hidup tanpa dirinya?

"Mas tadi buatin bubur" Punggung tangan Wendy terasa menghangat sewaktu tangan pria itu terulur menyentuh punggung tanganya.

Rasanya masih sama. Sedikit sentuhan saja mampu membuat tubuh Wendy seperti tersengat aliran listrik. Ia menegang sebentar. Setelah sadar dari keterkejutanya. Dengan kasar ia menepis tangan pria itu agak kasar.

"Kamu boleh marah sama Mas. Mas memang pantas Wen. Tapi jangan diam kayak gini, lebih baik kamu pukul Mas Wen atau caci maki Mas" Bisik pria itu frustasi, harus dengan cara apa ia menjelaskan semuanya.

Di mata Wendy ia tetap bersalah. Satu tahun pergi tanpa kabar. Pasti membuat Wendy berpikir ia telah meninggalkan wanita itu. Padahal sama sekali tidak. Ia juga berjuang. Berjuang antara hidup dan mati.

"A..ak..aku" Gagap Wendy, Ia menutup mata kesal. Ingin sekali ia mencaci maki pria ini dan memberondongnya dengan banyak pertanyaan.

Mengapa ia meninggalkan Wendy ? Mengapa tidak memberikan kabar apapun ? Mengapa tidak mau memperjuangkan Wendy dan anak-anak? Dan masih banyak mengapa yang ingin Wendy tanyakan. Tetapi mengapa suaranya seperti hilang dan tidak ingin dikeluarkan.

Rasanya sangat sakit. Wendy ingin menangis meraung-raung. Menumpahkan rasa kesal dan amarahnya. Tapi ia tidak bisa, rasa rindunya tetaplah lebih besar dari rasa amarahnya. Sebesar apapun ia mencoba mengabaikan. Sebesar itulah ia ingin menubruk dada bidang itu. Dan menangis sampai puas. Sampai batu yang mengganjal dihatinya ini menghilang.

"Aku benci Mas Yogi." Lirih Wendy

"Iya Mas tau. Tapi kamu harus denger penjelasan Mas dulu Wen. Setelah itu, terserah kamu mau seperti apa. Mau kembali sama Mas atau meninggalkan Mas. Mas sudah pasrah"

"Mas kangen Wen"

Tiba-tiba saja, tangan Wendy tersentak. Dan ia merasakan kehangatan ketika lengan Yogi melingkupi tubuhnya. Berkali-kali Yogi mengecupi pucuk kepala Wendy.

"Jangan benci Mas Wen"

"Jangan benci Mas apapun yang terjadi. Jangan tinggalin Mas, Mas nggak punya apa-apalagi Wen, Selain kamu dan anak-anak"

Wendy mendongak melihat kesedihan yang kentara di mata Yogi. Yogi menunduk mencecahkan ciuman di bibir Wendy, melumatnya lembut penuh kerinduan.

"Aku mau pulang" Dengan berat hati Wendy melepaskan pelukannya. Membuat Yogi merasa kehilangan, Yogi tersenyum kecut lalu mengangguk.

Rahasiaku [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang