22

3.1K 223 7
                                        

Yogi meletakan sendoknya lalu menyerobot air mineral dingin. Bukannya hilang rasa pedasnya. Mulutnya semakin jontor dan terbakar. Yogi rasa ini makanan cabai giling yang berkedok mie ayam. Perut Yogi sudah terasa melilit padahal baru suapan yang ke lima.

Sementara Wendy anteng saja ditempatnya. Sambil sesekali tertawa kecil melihat Yogi kebakaran di tempatnya. Bibirnya sudah membengkak dan berwarna merah.

"Udah ya? Nanti Mas sakit perut."

Yogi menggeleng tidak setuju akan usul Wendy. Ditariknya satu lembar tisu. Mengusap keningnya yang sudah bercucuran keringat. Kalau begini, lebih baik Yogi keringetan karena nyangkul. Daripada makan mie setan ini.

"Enak sih, Wen. Tapi pedes banget, berasa makan cabe. Kamu nggak kepedesan?" Huh-hah-huh-hah kepedesan tidak menghentikan Yogi memasukan gulungan mi beserta kuah berwarna merah itu kedalam mulutnya.

"Aku udah biasa makan pedes."

"Hebat kamu, Wen. Mas aja nggak sanggup. Tapi nggak rela bagi-bagi." Wendy tertawa diikuti oleh Yogi yang masih semangat memakan mie nya.

Malahan srupat.. sruput.. walaupun berkali-kali menyedot minuman, dan menyeka keringat yang semakin banyak.

"Ma, Mbak udah. Perut Mbak udah nambah besar. Nanti jadi kayak Augie kan nggak lucu Ma." Mata Augie sudah melotot. Dengan tangan yang mengusap perutnya yang memang gembul itu.

Biasanya kalau Yogi bertanya apa isi perut Augie. Putranya itu akan menjawab, "Isinya kodok Ayah."

Pertanyaanya, emang ada kodok bisa masuk perut?

"Perut Augie nggak besar. Cuman sedikit besar."

Selanjutnya sudah bisa ditebak. Kedua kakak beradik itu mulai adu mulut. Entah kapan mereka berdua bisa akur. Sebentar akur. Sebentar perang. Sebentar peluk-pelukan, sayang-sayangan. Sebentar bacok-bacokan.

Capek deeeeh.

"Pedes banget ya?" Tanya Wendy tidak tega.

"Hooh, kamu udahan makannya?" Yogi sampai mengangkat mangkuknya. Menyeruput kuah pedas yang nyatanya sangat enak itu, sambil kembali meracau kepedasan.

"Pedes, pedes, astagfirullah."

Wendy tertawa, mengelus punggung Yogi yang naik turun karena mengambil napas. Sedangkan, Yogi sendiri sudah cengengesan. Tidak perduli bibirnya sudah jontor, akibat mie ayam setan seratus sepuluh cabe.

Yang penting dielus-elus.

"Aku udah habis dari tadi. Yaudah yuk, mas. Udah malem, mau hujan juga." Khawatir Wendy menatap langit yang mulai mendung, dan angin sudah berhembus sedikit kencang.

"Dingin?" Yogi mengelus kepala Wendy. Tanganya yang lain mengelus punggang tangan istrinya dan diletakan di pangkuanya.

Wendy mengangguk.

"Papa sama Mama gandengan mulu, mau nyebrang ya?" Arin tertawa kecil melihat Mamanya tersenyum malu. Kalau Yogi tidak usah ditanya, lelaki itu terlihat santai. Tidak terpengaruh, malahan dia tersenyum lebar menanggapi guyonan putrinya.

"Biar nggak ilang, makanya Papa gandeng. Biar cintanya nggak kemana-mana."

"Ih, Papah lagi gombal nih? Jangan baper ya Ma, Papa boong tuh." Tarikan di dress oranyenya. Membuat Arin menoleh pada sosok Augie yang meringis sambil menggaruk rambutnya.

"Gombal itu orang nggak punya rumah ya Mbak Arin?"

Innalillahi... dikira gembel kali ya.

"Terserah Augie"

Rahasiaku [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang