Semesta Mendukung (2)

9.6K 304 18
                                    

Gulp... Gadis itu menelan ludah dan membuka mulut, merasa tidak ada yang perlu disembunyikan. "Dulu... Kakak laki-lakiku meninggal disambar petir waktu aku kecil... Kejadiannya persis di depan mataku... Jadi..." Hanna menggigit bibir, tak tahu harus bagaimana meneruskan ceritanya.
Cup... Tiba-tiba, Rangga mencium kening Hanna, membuat tubuh Hanna yang dari tadi gemetaran seketika merasa sedikit hangat dan mulai tenang. "Begitu? Tenang... Kamu sekarang ada di dalam ruangan, petir enggak bakal sampai ke sini." Sret.. Sret... Rangga mengelus rambut Hanna dan kemudian membalas memeluk erat gadis itu.

Hanna terbelalak dan rasanya jantungnya mau pecah. Hangat.... Suara batin Hanna merasa nyaman dalam pelukan Rangga. KYAAAAA!!!! A- Apa yang terjadi!!? Kenapa dia tiba-tiba punya sisi perhatian begini!!!? Deg! Deg! Deg! Jantung Hanna menendang-nendang seperti bayi dalam rahim. "Ngomong-ngomong, maaf sudah manggil kamu triplek. Ternyata... Hehe." Rangga tertawa kecil. Hanna mengkerutkan alis tidak mengerti dengan ucapan cowok itu, sampai akhirnya setelah beberapa detik barulah wajah Hanna mendidih merah begitu ia mengerti apa yang diucapkan Rangga.
"Kamu berniat mau menghiburku dengan jokes barusan!?" Gerutu Hanna yang membuat Rangga terkekeh. "Sudah kubilang punyaku standar! Bukan triplek! Sekarang sudah tahukan!?" Hanna menimpali, mencoba tidak ingin membuat suasana menjadi canggung padahal ia sedang nyaman-nyamannya berada dalam pelukan Rangga.

"Ya... Mana aku tahu yang standar itu bagaimana. Lagian aku juga jarang memperhatikan." Jawab Rangga yang sama-sama berwajah merah.
"Ya sudah, kamu mau megang lagi!?" Celetuk Hanna mencoba bercanda.
"Huh?"
"Huh?" Ibarat termometer, suhu dan warna kulit Hanna dari bawah hingga ke ubun-ubun perlahan memerah menjalar naik. Puncaknya, kalau bisa berkukus, mungkin kepala gadis itu sudah berkukus mendidih. "M- M- Maksudku...." Hanna terdiam. AAAAAA!!!! Gadis itu berteriak dalam benak, kenapa bisa-bisanya keceplosan bicara begitu. M- Masa iya jangan-jangan itu tadi keinginan alam bawah sadarku yang ingin dipegang Rangga lagi!? Enggaaakkk!!! Enggak mungkin!!!!

"T- Ta- Tadi cuma becanda..." Duk... Lalu, sikut Hanna yang terturun tak sengaja menyentuh sesuatu yang keras, dan bukan, itu bukan ikat pinggang Rangga. Huh!? Gadis itu terbelalak. A- Apaan sesuatu yang lancip, besar, dan keras yang kena sikuku tadi!? Gulp... Hanna menelan ludah. Pikirannya kacau tak karuan membayangkan sesuatu, dan begitu Hanna mengangkat wajah mencoba melihat Rangga, gadis itu mendapatkan jawabannya. Cowok itu sedang mengalihkan wajahnya yang merah, melihat itu Hanna langsung sadar apa yang barusan tak sengaja disentuh sikunya.

"Mmhhh..." Hanna menggeliat, membuat Rangga bingung.
"Ka- Kamu kenapa lagi? Bukannya petirnya sudah berhenti?" Tanya Rangga yang memang hujan sudah mulai mereda, tidak selebat tadi, dan petir juga sudah tak terdengar menyambar. Tapi kenapa gadis di pelukannya ini masih menampilkan gejala aneh?
"A- A- A- Aku...." Hanna menggigit bibir, pahanya merapat dan menggesek-gesek. Gara-gara dorongan adrenalin petir tadi, membuatnya lupa akan hasrat kebelet pipisnya. Dan, setelah petir tak lagi terdengar dan gara-gara shock menyenggol sesuatu yang keras di tubuh Rangga, membuat gadis itu auto ingat kembali hasrat kebelet pipisnya. Bahkan, kali ini sampai meledak-ledak, meningkat berkali-kali lipat. "A- Aku... Mau... Pi- Pipis..." Suara Hanna terbata-bata.

Duk! Mata Hanna langsung terbuka lebar ketika ia sekali lagi merasakan sesuatu milik Rangga menegang dan bergerak-gerak bertambah keras. Kedua sejoli yang masih berpelukan erat dalam ruang arsip yang remang-remang itupun sama-sama menelan ludah dan berwajah merah. "Bi- Bisa kamu tahan sampai Ibu Risa datang enggak?"
"Mmhhh..." Perut Hanna sudah berkontraksi hebat, ibarat roller coaster yang sedang mendaki, dirinya sudah hampir tiba di puncak, dan tinggal menunggu waktu saja kapan roller coaster itu terjun bebas. "Mmm..." Hanna menggeleng.

"Te- Terus gimana? Kamu mau.... Ngeluarin di sini!!!?"
"Enggaaaaaakkkkkk!!!!!" Teriak Hanna. "Mana mungkiiiinnnn!!!!!!!" Gadis itu meraung-raung, tapi, bagian bawahnya sudah tidak tahan dan tidak bisa lebih lama lagi mengikuti perintahnya untuk menahan hasrat alamiah itu. "Mmmhhh!!!!" Hanna langsung kembali mengerucut dan merapatkan paha, masih mencoba menahan.
"K- Kalau kamu mau ngeluarin di sini, enggak apa-apa. Aku enggak bakal cerita ke siapapun, dan aku enggak bakal mengintip."
"B- Bego! Bukan cuma itu masalahnya!!! Ini masalah harga diri sebagai cewek!!! Mana mungkin aku... Pi- Pipis sembarangan!!! Mmhh!!" Dan sekali lagi, tubuhnya seolah mengatakan kepada Hanna bahwa waktunya tinggal sebentar lagi sebelum tumpah.

LATIHAN PACARANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang