Astrid terlihat lesu setelah hampir enam jam tubuhnya terpaku di ruangan yang tidak pernah ia harapkan sebelumnya. Proses sidang perceraian antara dirinya dengan Angkasa berlangsung cukup cepat dan mudah. Rigel Arkana Putra, anak sematawayangnya kini hanya bisa tersenyum kecut saat tahu bahwa kedua orangtuanya telah resmi berpisah. Di usia yang masih belia, rasanya hal ini sangatlah berat untuk Rigel ketahui.
Usai sidang, Angkasa menyambangi keberadaan Rigel saat langkah kakinya berjalan keluar menuju mobil. Astrid yang sudah lebih dulu berada di dalam mobil, tampak membiarkan anak laki-lakinya itu untuk bertemu dengan ayahnya terlebih dahulu.
Angkasa menarik lembut tangan Rigel dari belakang, ia menoleh lalu melepaskan tangannya dari pegangan Angkasa.
"Rigel, jaga diri baik-baik ya nak," ucapnya sambil mengelus puncak kepala Rigel.
"Hidup tenang dengan perempuan pilihan anda, pak. Saya dan ibu akan terus baik meski hanya berdua." buliran air dari matanya tidak lagi dapat Rigel bendung, ia kembali melanjutkan jalannya untuk masuk ke dalam mobil.
Perpisahan kedua orangtua adalah hal paling menyebalkan, menyakitkan, menyedihkan bagi seorang anak seperti Rigel. Ia tidak pernah menyangka bahwa laki-laki setengah baya itu lebih memilih perempuan lain daripada cinta pertamanya sendiri.
Bebannya akan bertambah karena ia adalah satu-satunya lelaki yang harus menjaga dan merawat sang ibu. Hanya berdua dengan ibu? Tanpa ayah dan perannya sebagai ayah? Rigel tidak kaget, karena satu tahun terakhir sebelum perceraian ini tercipta, peran ayah sepenuhnya sudah hilang baginya.
***
Satu minggu kemudian setelah momen pahit dialami Rigel Arkana Putra, hanya Wulan Laksmi satu-satunya cahaya yang mampu memberikannya energi, memberinya semangat untuk tetap mampu menjalani hidup. Teman yang ia kenal sejak duduk di kelas empat SD, yang tertutup, periang, dan terkadang menyebalkan itu selalu berperan banyak dalam kehidupannya.
Malam ini, langit penuh dengan taburan bintang yang berkelap-kelip dan sebuah bulan sabit melengkung dengan sempurna, memperindah pandangan bagi siapa saja yang melihatnya. Rigel dan Wulan berdiri di balkon rumah Wulan, mereka menikmati cokelat panas buatan Bi Ijah sambil bercengkrama.
"Kenapa bisa ya? ayah tega ninggalin ibu yang jelas-jelas cinta pertamanya demi perempuan lain?" Rigel mencengkram cangkirnya sangat kuat, matanya masih menatap langit malam lekat-lekat.
"Mungkin takdir." jawab Wulan sekenanya.
"Gue kira... takdir mereka untuk hidup berdua selamanya, sampai gue tumbuh dewasa."
"Itu takdir menurut lo, bukan menurut semesta."
"Kalau nanti gue gak bisa jaga dan ngerawat nyokap gimana?"
"Lo bisa, Gel. Lo gak sendirian, ada gue."
sambil menepuk bahu Rigel, ia menyeruput perdana cokelat di cangkirnya yang mulai menghangat.Rigel hanyalah manusia biasa, tidak mungkin bila seorang anak laki-laki sepertinya tidak bisa menangis. Tapi sekarang air matanya berhasil ia tahan, ia tidak mungkin menangis di depan sahabatnya itu. Wajah tegasnya menghangat, ia meneguk habis cokelat panas di cangkirnya.
"Satu yang harus lo tau, bulan gak pernah ninggalin bintangnya sendirian bahkan sebaliknya, itu yang selalu keluar dari mulut lo saat gue lagi merasa sendirian." Wulan kembali menenangkan Rigel yang terlihat geram.
Bulan di sampingnya seketika menjelma seperti bulan di atas langit. Indah, memesona, menenangkan dan menyenangkan. Tapi, apakah Wulan akan setia berada di samping Rigel?
seperti bulan dan bintang yang selalu berdampingan di pekatnya langit malam?
⭐🌕☀️
KAMU SEDANG MEMBACA
Made For Each Other [Hiatus]
Ficção Adolescente[Teen Fiction] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA SUPAYA KAMU SELALU DAPAT NOTIFIKASI TERBARU DARI CERITA INI 🙆] Yang Rigel tahu, bersahabat baik sedari kecil dengan Wulan adalah hal yang menyenangkan. Tapi seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa label...