28. Hujan

22 4 3
                                    

Icha terus mengikuti genggaman Rangga yang menuntunnya ke parkiran dan tiba didepan motornya.

Mereka berhenti dan Rangga langsung melepaskan genggamannya. Icha masih diam, hanya pasrah melihat tingkah Rangga yang begitu aneh pikirnya.

Rangga memasang helm dikepalanya dan menyodorkan helm untuk Icha. Sudah terbiasa, Icha langsung saja menerimanya tapi masih terbesit pertanyaan yang muncul dipikirannya.

"Ga, kenapa lo selalu siaga helm dua ? Kan lo cuma sendirian dimotor lo. Emang nih helm satu lagi untuk siapa ?" Tanyanya sambil memasukkan kepalanya kedalam hlem tersebut.

"Untuk orang yang membutuhkan." Jawab singkat Rangga yang sedang menghidupkan motornya.

"Hah ?? Jadi maksud lo_" ucapan Icha terpotong saat Rangga melajukan gas motornya. "Cepat naik!" Pintanya.

Icha menaiki motor Rangga dengan raut wajah yang semakin ditekuknya tidak ketinggalan dengan gerutuannya. "Dasar patung!" Yang tepat ia ucapkan ditelinga Rangga yang tertutup helm.

***

Diam. Icha hanya melihat kanan kiri depan tanpa berkutik sedangkan Rangga fokus berkendara tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

Lampu lalu lintas didepan mereka yang semula hijau sekarang berganti merah. Tapi Rangga merasa aneh. Seperti ada yang aneh dengan motornya. Rangga memperlambat lajuan motornya dan berhenti diantara kendaraan lain yang sedang menunggu lampu hijau.

"Kok berat yaa ?" Gumamnya memeriksa ban depan dan belakangnya yang sedikit tidak terjangkau oleh matanya.

Melihat keresahan Rangga, Icha pun merasa heran.

"Kenapa Ga ?"

"Berat banget. Banyak dosa lo yaa ?" Ucapnya seenak jidat.

Mata Icha seketika itu juga membulat sempurna dan mulutnya menganga dengan refleks memukul bahu Rangga keras.

"Auhh! Sakit!" Desisnya mengelus bahu yang Icha pukul.

"Siapa suruh lo ngomong yang enggak-enggak." Ketusnya.

"Orang emang berat kok." Seru Rangga yang tak mau kalah juga.

Mata Icha kembali membulat mendengar jawaban Rangga. "Ihk, nyolot banget sih lo." Kesalnya kembali memukul bahu Rangga dengan kekuatan yang lebih dari sebelumnya.

"Mas!" Panggilan itu menghentikan pertikaian mereka dan beralih menatap orang yang memanggil Rangga.

"Ban motornya kempis tuh dua-dua." Mendengar perkataan itu Icha dan Rangga langsung turun dari motornya dan menyaksikan ban motor mereka yang benaran kempis.

Hanya helaan napas yang keluar dari keduanya.

"Makasih yaa Pak!" Seru Rangga dan Icha bersamaan lalu menepi dari tengah jalan raya.

"Bengkel jauh lagi dari sini." Gumam Icha menatap ban kempis tersebut.

"Daerah mana ?"

"Lo gak tau ? Tuh bengkel luruus aja mentok lampu merah kita belok kiri abis tuh terus lagi sampe jumpa perempatan, nah disana_"

"Bengelnya ?" Potong Rangga masih setia memperhatikan ban motornya.

"Bukan."

Aku Suka KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang