Joan tampak bosan menunggu, tetapi masih bertahan, kali saja wanita yang akan ia temui hari ini masih di jalan.
Hampir satu jam Joan duduk sendiri, menunggunya di sebuah restoran. Sesekali memainkan ponselnya untuk menghalau rasa bosan juga rasa nervous.
Seperti kencan pertama, ck!
Pria dengan jambang tipis di wajahnya itu terlihat celingak-celinguk, mengedarkan pandangan ke segala arah. Namun, sosok yang ia tunggu belum tampak juga.
Atau jangan-jangan dia enggak datang?
Joan mencoba tetap berpikir positif. Berusaha tetap tenang di kursinya. Ada meeting yang ia tunda demi memenuhi janji bertemu dengan wanita ini. Tepatnya Pertemuan yang sudah diatur orang tua mereka.
Keterlaluan kalau sampai wanita itu tidak datang. Sama saja ia membuang-buang waktunya di sini.
Satu jam lebih Joan duduk sendiri di sudut meja restoran itu.
Fix nggak datang, nih?
Joan sedikit kecewa, tetapi apa boleh buat. Tidak mungkin ia terus menunggu di sana sampai restoran tutup.
*
Via tidak minat menemui pria yang disodorkan ibunya. Ia memilih tidak datang. Ia tidak mau dijodoh-jodohkan seperti ini.
Baginya, Zhea sudah cukup membuatnya bahagia. Malaikat kecilnya itu adalah dunianya sekarang. Ia tidak menginginkan hal lain selain tawa dan senyum Zhea.
Tapi Zhea juga butuh kasih sayang seorang Ayah, Vi. Pikirkan itu.
Kenapa ibunya memakai kata-kata itu untuk mendesak Via, membuka hati? hatinya sudah hancur.
Pria baik-baik? Via tak mempercayai itu lagi, siapa yang bisa menjamin?
Benaknya sedang berpikir alasan apa yang tepat untuk ia sampaikan pada ibunya nanti, bahwa ia tidak menemui pria itu hari ini.
Via tidak peduli jika saja pria itu benar-benar menunggunya, toh ia tidak pernah mengiyakan pertemuan ini.
*
Mobil sedan milik Via mulai memasuki gerbang menjulang di rumahnya.
Via melangkah menuju kamar."Ke mana aja kamu, Vi?"
Langkah Via terhenti, menoleh ke belakang ke arah ibunya. Belum membuka mulut.
"Kenapa kamu biarin Joan menunggu dan kamu enggak datang sama sekali?"
"Bu, aku nggak bilang aku setuju. Kenapa aku harus datang?"
"Beri kesempatan pada Joan, kalian bisa berteman dekat dulu."
Via terdiam.
"Besok Ibu akan temani kamu bertemu dengan Joan. Dia dengan mamanya. Kita akan makan malam bersama, biar akrab."
"Tadinya Ibu ingin kalian bertemu berdua saja agar lebih nyaman, tapi malah begini jadinya," kata Marni sambil berlalu dari hadapan Via.
Apa-apaan ibu? kenapa masih usaha?
*
Pria bermata sipit itu sudah tiba di lokasi. Hari ini pekerjaan membawanya ke sebuah restoran mewah tempat di mana seorang klien akan mengunakan jasanya.
Ia dipercaya untuk mengabadikan momen istimewa klienya itu. Sebuah momen acara makan malam privat. Ia tidak sendiri satu anggota lain ikut bersamanya.
Para tamu sudah hadir di dalam ruangan yang telah di-booking khusus itu. Meja berukuran panjang dengan kursi-kursi yang tertata rapi. Lampu-lampu kristal, bunga, dan balon-balon berbentuk tulisan ikut menghias ruangan itu dengan manis. Dari tulisan balon itu siapa saja akan tahu acara apa yang akan segera berlangsung.
Acara ini adalah sebuah acara surprise. Kamera Alvin langsung on ketika pintu ruangan berbahan kayu warna hitam itu, perlahan-lahan dibuka.
Pria dan wanita mulai muncul dari balik pintu. Menyita semua perhatian tamu undangan yang berada di dalam ruangan.
Alvin terkejut ketika menyadari siapa sosok yang terekam dalam kameranya.
Pria dan wanita itu disambut riuh dari para tamu undangan. Alvin hampir tidak percaya pada apa yang tersuguh di depan matanya.
"Pegang ini," kata Alvin menyerahkan kamera pada partnernya yang tak lain tak bukan adalah Rizal--kakaknya sendiri.
Alvin menatap tajam ke arah pasangan yang menyambut tamu mereka dengan senyum terkembang. Kedua tangan Alvin mengepal kuat.
Entah apa yang Alvin pikirkan? Langkahnya membawa ia mendekat ke arah si pemilik acara. Berhenti tepat di hadapan sosok pria di depannya dengan banyak pertanyaan di kepala. Ia tak habis pikir.
Suasana sesaat hening.
Rizal yang masih merekam situasi, dibuat heran. Apa yang akan Alvin lakukan?
Kini tatapan dua pria dewasa itu bertemu.
"Ada masalah, Mas?" tanya seorang wanita di sebelah pria bertubuh tinggi tegap yang terbalut jas warna hitam itu, tampak binggung.
Alvin tak merespons pertanyaan itu. Matanya masih menatap nyalang pada pria di hadapannya.
"Anniversary?" tanya Alvin melirik ke arah wanita di sebelah pria itu.
"Ya!" jawab pria itu lantang.
"Via?"
"Kami sudah berpisah," jawab pria itu datar.
"Kenapa? Apa kamu selingkuh lagi?" Alvin melirik wanita di sebelah pria itu, yang tak lain adalah kliennya sendiri. Sepasang pria dan wanita itu mulai menampakkan gelagat tidak nyaman.
"Sama sekali nggak ada urusannya sama kamu!"
"Jadi benar, kamu menyakitinya lagi, hah!" Nada bicara Alvin meninggi.
Pria itu tersenyum sinis. "Kenapa? Bukannya ini jadi kesempatan buat kamu, untuk mengais cintanya kembali, Vin. kamu bisa memungutnya lagi."
Bugh.
Alvin melayangkan pukulan tepat ke wajah Eric. Suasana yang tadi hening seketika gaduh.
Rizal yang berada tak jauh dari keributan itu seketika mematikan kameranya. Mendekat dan melerai keributan antara adiknya dengan pria itu.
"Keluar dari sini sekarang juga!" usir Eric dengan kedua lengan yang ditahan oleh beberapa tamu. Untuk mengantisipasi baku hantam susulan.
Acara anniversary yang seharusnya berjalan penuh sukacita itu kacau tanpa diduga.
Alvin bahkan tidak tahu menahu bahwa acara anniversary klien wanita yang mengunakan jasanya itu ternyata istri baru Eric.
Pesta kejutan itu dipersiapkan sendiri oleh klien wanita yang menggunakan jasa Alvin, tanpa sepengetahuan suaminya yang mana ternyata adalah Eric.
"Sebenarnya ada apa, Vin?" tanya Rizal sesaat setelah mereka sudah menghuni jok mobil yang masih terparkir.
Alvin tak menjawab, masih mengatur napasnya yang memburu. Tanganya mencengkeram kuat pada kemudi.
Bajingan itu masih nggak berubah!
Dan Via?
Kenapa ini harus terjadi padanya?
**
Yang nungguin Alvin 🤗
Gimana menurut kalian part ini?
Vote & komen
Trims 🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelabuhan Rasa (Sekuel Rasa) COMPLETED
Roman d'amourTakdir kembali mempertemukan Via dengan seseorang dari masa lalunya. Alvin, pria yang pernah ia tinggalkan dulu kembali ke dalam hidupannya yang sempat hancur. Rasa bersalahnya pada Alvin itu yang membuatnya membangun benteng kokoh yang sulit untuk...