21. Tentang Masa Depan

1.3K 94 12
                                    


"Udah ya, jangan nangis lagi," ucap Alvin mengusap air mata Via dengan ibu jarinya.

Pandangan Via tertunduk, masih sedikit sesenggukan, tetapi wanita itu merasa lega sekarang. Bebannya sirna seiring ketulusan Alvin yang teruji.

Betapa ia merasa beruntung bertemu lagi dengan pria ini. Pria yang cintanya tidak pernah luntur meski ia pernah mengores luka dalam saat meninggalkannya dulu.

Tangan Alvin mengusap kepala Via--lembut. Menyelipkan helaian rambut Via, ke belakang telinga. Menatap lekat wanita di hadapannya ini. "Vi."

Mata sembab Via beradu dengan sepasang mata sipit Alvin yang lalu saling menyelami kedalaman rasa di antara mereka.

"Aku di sini, Vi. Untuk kamu. Dan untuk Zhea."

Air mata Via kembali menggenang. Alvin memeluknya sekali lagi. "Sstt ... jangan nangis lagi, ya."

Bersama Alvin, Via merasa nyaman. Pelukan Alvin selalu bisa menenangkannya, tatapan Alvin meneduhkannya. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Alvin, meluluhkannya.

Sekarang ia hanya menginginkan Alvin, tidak yang lain. Mata Via terpejam, meresapi dekapan hangat pria dengan hati serupa malaikat itu.

"Kapan-kapan ajak Zhea ke sini, ya. Aku nanti mau pesen ayunan, mau kutaruh di sini biar Zhea bisa main. Kalau perlu sepaket dengan kolam berisi bola. Biar Zhea betah. Gimana?" ucap Alvin panjang lebar masih dengan memeluk Via.

Wanita itu melonggarkan pelukannya, sedikit mendongak, tersenyum menatap pria yang memeluknya ini. Bahkan, Alvin memperlakukan Zhea dengan penuh kasih sayang. Walaupun Zhea adalah anak hasil pernikahannya dengan Eric. Alvin tidak mempermasalahkan itu. Yang Via tahu pria ini begitu tulus pada Zhea.

"Makasih, Vin."

Alvin tersenyum, dipeluk lagi wanita ini dengan rasa syukur. Akhirnya Via menerimanya. Setelah berhasil mencairkan hatinya yang beku.

"Vin ...," ucap Via dalam dekapan Alvin.

"Ya?"

"Kapan-kapan mainlah ke rumah. Aku akan mengenalkanmu pada Ibu dan Bapakku, mereka juga mau kenalan sama kamu."

"Serius?"

"Hmm."

"Pasti! Pasti aku akan datang." Alvin memeluk Via lebih erat lagi, mengecup puncak kepala wanita dalam pelukannya itu. Via tersenyum, mereka berdua lalu melempar tatapan ke arah langit, Menikmati senja yang menjadi favorit mereka.

*

"Ibu, sih tergantung kamu aja, Ran."

Ranti tertunduk ketika meminta pendapat ibunya tentang Rizal yang ingin melamarnya. Setahunya, Rizal baik. Lalu bagaimana tentang perasaannya pada pria itu? Bukankah cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu?

Ranti menoleh ke arah meja di mana ponselnya berdering. Nama Rizal terpampang di sana. Ranti beranjak, mengangkat telepon pria yang baru saja ia bicarakan dengan ibunya itu.

"Ya, Mas," jawab Ranti setelah menerima telepon.

Suara lembut Ranti di seberang telepon membuat hatinya bergetar. Apalagi saat wanita berhijab itu memanggilnya 'mas'.

"Lagi ngapain, apa aku ganggu?"

"Ah, enggak, Mas."

Sesaat sambungan telepon hanya hening.

"Ran ...."

"Yah?"

"Aku menunggu jawabanmu."

Pelabuhan Rasa (Sekuel Rasa) COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang