25. Jakarta-London 2

1.2K 92 12
                                    


Semua teman-teman Andre dan Siska sudah meninggalkan pesta termasuk Via. Tersisa Eric, satu-satunya orang yang masih berada di sana.

Dua saudara sepupu itu masih menghuni halaman belakang rumah yang temaram oleh lampu taman. Ditemani sebotol beling minuman beralkohol, Eric dan Andre masih betah mengobrol.

Dering telepon yang berasal dari ponsel pintar Eric itu, bergetar di atas meja.

Andre melirik nama yang muncul di layar. "Nggak diangkat? Istrimu telepon."

Eric hanya menatap sekilas ponselnya, lalu meneguk lagi cairan berwarna kecokelatan dalam gelasnya hingga tandas. "Biarin aja."

"Dicariin, tuh, suruh pulang."

Eric bergeming.

"Ntar nggak dibukain pintu lho." Andre terkekeh.

Eric mengabaikan ocehan Andre. Ia menuang lagi minuman ke dalam gelas  dan meneguknya lagi.

"Jangan banyak-banyak, gue ogah nganterin lo pulang kalau elo teler nanti."

"Gue bisa pulang sendiri."

"Oke, kita liat aja."

Eric lalu meraih ponselnya, setelah mengabaikan panggilan yang masuk barusan. Eric Membuka galeri dalam ponsel, menelisik koleksi foto lamanya yang masih tersimpan rapi. Sederet foto keluarga kecilnya yang dulu bahagia, muncul.

Foto-foto saat Zhea masih bayi. Saat Zhea mulai berjalan. Dan foto terakhir gadis kecilnya itu sebelum mama dan papanya berpisah.

Eric tersenyum simpul melihat wajah gemas Zhea saat baru tumbuh dua gigi di depan. Begitu juga saat ia membuka video lama anak perempuannya yang baru bisa mengucap kata 'Papa' untuk pertama kalinya. Rasa rindu dalam batinnya menyeruak.

"Ric? Lo kenapa?"

"Gue kangen Zhea."

"Kemarin-kemarin?"

Eric menatap tajam ke arah Andre, sepupunya itu seperti sedang mempermainkannya.

Menyadari itu, Andre mencoba serius kali ini. "Kalau kangen temuin, Zhea itu anak lo, Ric. Nggak ada istilah mantan anak. Ada darah mengalir yang enggak bisa terputus oleh apa pun."

Eric hanya terdiam, menatap ke layar ponselnya.

"Gue pengen tahu, apa selama ini elo bahagia, Ric?"

Eric mengangkat wajahnya, menatap Andre dengan nanar. Pertanyaan macam apa itu?

"Setahun lebih kalian berpisah, kenapa gue lihat tatapan mata elo ke Via enggak berubah."

"Jangan sok tahu lo, Ndre."

"Gue tahu elo, Ric. Gimana brengseknya lo, sepak terjang lo, gue tahu persis."

"Bukannya kita sebeles dua belas?" Eric menyeringai.

"No! Gue rasa gue masih punya kendali. Apalagi sekarang, gue bakal jadi calon ayah dari bayi yang udah bertahun-tahun lamanya gue tunggu."

"Enggak ada yang tahu apa yang terjadi esok, Ndre. Gue juga nggak nyangka rumah tangga gue sama Via bakal hancur. Hati-hati aja, itu petuah buat lo, Ndre." Eric meneguk lagi minumannya.

"Iya, petuah sialan." Andre terkekeh.

*

Ketukkan pintu berulang kali itu akhirnya dibuka, setelah seorang asisten rumah tangga tergopoh dari dalam kamarnya.

Eric mulai masuk dengan langkah gontai, seperti berusaha keras menyeimbangkan diri agar tidak terhuyung.

Asisten rumah tangga yang sudah paruh baya itu tertegun menatap majikanya yang sepertinya mabuk. Lalu menggelengkan kepalanya, pemandangan ini sudah sering  ia lihat.

Pelabuhan Rasa (Sekuel Rasa) COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang