39. Gelisah

1.4K 78 14
                                    

Kembali ke rutinitas, Eric sudah rapi dengan setelan jasnya. Bersiap untuk berangkat ke kantor pagi ini. Pria itu mengunci pintu apartemennya terlebih dahulu. Penghuni apartemen di sebelahnya pun tampak akan meninggalkan apartemennya juga.

Keduanya lalu saling menoleh. Menyadari keheningan yang terjadi, Ines segera mengunci pintu, beranjak lebih dulu.   Tanpa sepatah kata Ines berlalu, menyisakan Eric yang terdiam.

Eric menoleh ke arah langkah wanita yang kini sudah berjalan mendahuluinya itu, kemudian menyusul di belakang.

Mereka bertemu di gerbang lift yang terbuka. Keduanya memasuki lift kemudian sama-sama terdiam. Ines tidak menoleh sedikit pun ke arah Eric, hanya fokus pada angka-angka pergantian lantai yang menyala. Tidak ada sapaan hangat. Keduanya seperti tidak saling mengenal.

Ekor mata Eric sempat melirik sesaat ke arah wanita di sebelahnya yang tampak tak acuh itu. Senyap, mereka berdua sibuk menunggu siapa yang memulai percakapan lebih dulu. Tidak ada, sampai pintu lift terbuka, tidak ada sepatah kata pun keluar dari keduanya.

Ines bergegas, hari ini wanita semampai berambut kecokelatan itu akan menuju sebuah lokasi pemotretan. Bagaimanapun juga ia harus tetap produktif dan profesional di tengah kegundahan hatinya.

Apalagi barusan ia bertemu dengan sosok pria yang menjadi penyebab utama kegundahannya, terhitung sejak ciuman tak terduga itu ia dapat.

Kenapa harus dipikirin, itu cuma tindakan di luar kendali.

Lagi-lagi Ines berusaha untuk tetap realistis.

Ines menghela napasnya saat sudah duduk di kursi kemudi. Netranya menyorot ke arah pria bersetelan jas rapi yang juga baru saja membuka pintu mobilnya.

Wanita itu bergegas memakai safety belt, melajukan mobilnya mendahului Eric. Sementara Eric hanya menatapi mobil Ines yang baru saja melintas.

Eric berusaha tidak terpengaruh dengan sikap dingin Ines padanya. Untuk apa? Memang lebih baik begitu, pikirnya.

Namun, hati dan logikanya tidak seiring. Sesampainya di kantor, fokus Eric terusik. Di ruangan kerjanya yang nyaman itu, justru membuatnya tersiksa. Ucapan Ines tempo hari terus berputar ulang di benaknya. Eric tidak mengerti apa yang sedang terjadi padanya saat ini.

Di sisi lain, Ines enjoy dengan pemotretannya hari ini--pemotretan untuk iklan sebuah merek parfum pria. Pemotretan kali ini, ia tidak sendiri. Ines dipasangkan dengan seorang model pria blasteran. Iklan parfum pria memang selalu identik dengan sosok wanita cantik dan seksi, bukan?

Pemotretan ini menuntut keduanya terlihat intens di depan kamera. Pria blasteran partner kerjanya itu sempat menatap Ines lekat di sela-sela pemotretan. Ines menyadarinya, ia juga tidak menampik pesona pria hadapannya ini. Mata hazelnya, tubuh Atletisnya, Ah! Namun, dirinya lebih menyukai produk lokal. Entah mengapa saat itu juga, sosok Eric melintas begitu saja dalam benaknya.

Sekilas bayangan bagaimana Eric menawannya malam itu, hadir mengacaukan fokusnya.

Sial!

***

Eric tiba di apartemennya setelah seharian berada di kantor. Sempat menoleh sesaat ke arah pintu di sebelahnya, kemudian bergegas masuk untuk menghindari pertemuan tanpa sengaja berikutnya.

Pria itu melonggarkan dasi yang melingkar rapi pada kerah kemeja putihnya sambil berjalan menuju pantri. Eric butuh sesuatu untuk membasahi tenggorokannya yang kering.

Air mineral dingin yang dituangnya dalam gelas bening itu sudah tandas tanpa menunggu lama. Dahaganya tuntas.

Pria berstatus duda Anak satu itu meraih kaleng bir dari dalam lemari pendingin. Membuka segelnya sambil berjalan menuju balkon.

Pelabuhan Rasa (Sekuel Rasa) COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang