15. Mundur Atau Bertahan?

1.4K 100 37
                                    


"Joan ...," ucap Via lirih dalam dekapan. Perlahan Joan melepaskan dekapannya.

"Maaf."

Dua pasang mata itu saling menatap. Joan gagal mengendalikan dirinya--mendekap Via begitu saja. Sungguh ia ingin jadi satu-satunya pria yang akan melindunginya.

"Setelah Zhea sembuh nanti, aku ingin kita meresmikan hubungan."

Via terkejut dengan pernyataan Joan barusan. Meresmikan hubungan?

"Eum ... Joan, apa ini nggak terlalu cepat?"

"Buat apa lama-lama?"

"Joan? Kamu yakin?"

"Ya!" jawabnya mantap.

Via menelan ludah, entah apa yang masih mengganjal di hati dan pikirannya? Bukankah itu yang ia inginkan? Dengan resminya hubungan mereka, itu akan membuat Alvin menjauh.

Namun, kenapa dia sendiri belum yakin? Entah karena kegagalannya yang lalu ataukah dia masih memikirkan hal lain?

"Vi?"

"Boleh, aku minta waktu lagi?"

"Kamu masih meragukan aku, Vi?"

"Ini nggak semudah kelihatannya. Aku pernah gagal, Jo."

"Justru itu, kamu pantas bahagia, Vi. Aku akan berusaha membahagiakanmu juga Zhea."

"Apa kamu tau, Jo? Kalimat seperti itu juga yang dulu diucapkan mantan suamiku sebelum kami menikah." Air matanya mulai menggenang. Sekeras mungkin Via berusaha menahan laju air mata yang dulu pernah tumpah untuk menangisi takdirnya.

"Dengan cara apa agar kamu yakin? Aku serius, Vi."

"Waktu." Via menjeda kalimatnya. "Beri aku waktu sampai aku bisa meyakinkan diriku sendiri. Ini bukan lagi tentang kita berdua. Tapi Ini tentang Zhea, juga tentang dua belah keluarga."

Sesaat hening.

"Kita udah terlalu lama di luar. Aku takut Zhea nyariin. Kita masuk, Jo."

"Eum ... Vi!" seru Joan membuat Via terhenti.

"Gimana perasaanmu sama aku, Vi? Aku ingin tau."

Sempat terdiam sesaat, akhirnya Via membuka suara. "Waktu yang akan menjawab." Via tersenyum tipis lalu berbalik arah. Meninggalkan Joan yang dibuat terpaku.

*

Hujan deras yang mengguyur kota Jakarta sedari pagi tadi belum juga reda. Ranti baru saja bersiap untuk pulang, tetapi masih terduduk di kursinya di ruang guru. Rasanya dia malas bergerak.

"Assalamualaikum?" katanya menjawab telepon di ponselnya.

"Walaikumsalam. Aku udah di depan sekolahan."

"Mas Rizal? Ada perlu apa?"

"Mau jemput bu guru."

"Hah?"

Rizal tersenyum di balik telepon.

"Eum--"

"Udah kelarkan? Aku samper, nih."

"Ah iya, kalau gitu aku ke lobi sekarang."

"Oke." Telepon ditutup.

Ranti langsung menyambar tote bag-nya, lalu bergegas menuju lobi. Berdiri sejenak di sana menunggu Rizal.

Tak berapa lama Rizal muncul dengan payung hitam yang melindunginya dari guyuran hujan. Ia menghampiri Ranti.

"Yuk!" Rizal mulai memayungi Ranti dan membawanya ke dalam mobil.

Pelabuhan Rasa (Sekuel Rasa) COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang