Satria Adrianta

60.1K 2.1K 13
                                    

"Jadi Mas harus gimana sekarang? Mas bingung, Dek!"

Aku menarik napasku dalam. Sebenarnya aku terpaksa mengatakan ini. Aku jatuh cinta tapi nggak mau terbelenggu dalam kisah semu. Aku lelah menerka hatinya.

"Aku harap kita jangan pernah ketemu lagi, Mas," jawabku mantap seraya beranjak pergi membawa sakit di hati setiap kali bertemu dengannya.

Lagi, pikiranku pergi pada kejadian beberapa tahun lalu. Kejadian yang aku anggap sebagai langkah pertama melupakannya, langkah yang membuatku tersesat dan nyaris gila.

Memang benar cinta yang terlalu besar malah merusak jiwa, karena sesuatu yang berlebihan itu nggak baik.

Capek dengan pikiran sendiri, aku menyandarkan kepalaku pada kaca mobil, menyimak objek di luar sana yang terlihat mundur sekalian mengalihkan pikiranku biar nggak mundur juga dan malah mengenang masa lalu lagi. Aku udah capek banget.

"Jadi, Adrian itu..."

"Jangan sebut namanya." Aku nggak mau mendengar namanya.

"Ya, maksudnya pria itu. Siapa?"

"Yang seharusnya saya lupakan sejak dulu, sejak dia mengatakan nggak bisa dengan saya. Seharusnya saat itu saya lepaskan saja biar dia nggak mempengaruhi hidup saya sampai begini." Betapa banyak keharusan yang aku katakan tapi nggak ada satupun yang mampu aku lakukan. "Tapi kadang sebuah keharusan nggak selalu bisa terpenuhi. Sekuat-kuatnya saya menahan diri, tetap aja kalah dengan angan yang selalu berakhir di dia. Terjebak masa lalu, Bapak pernah mengalaminya?"

Aku menatap Devan yang fokus mengemudi, menunggu jawabannya.

"Pernah, dan saya menyesal karena itu setelah melewatkan sesuatu yang lebih baik. Maksudnya, nggak ada gunanya kita bergelung dengan masa lalu. Biarkan dia pergi, kalau dia ditakdirkan untuk kita, dia akan kembali. Dan kalau dia bukan untuk kita, sekuat apapun kita menahannya, dia bakal tetap pergi." Devan menjelaskan dengan nada yang bijak. Namun aku yang laknat ini malah tertawa keras setelah mengangguk pelan.

"Kamu... nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa, cuma inget Wina aja. Katanya Pak Devan itu kayak yang punya buku panduan berisi petuah-petuah hidup," jawabku tertawa geli mengingat petuahnya.
Sikap tidak sopanku ini gara-gara Wina yang mendoktrin otakku setiap dia menyinyir atasannya tiap hari. Iya, Devan adalah atasan Wina. Pria 35 tahun yang punya julukan 'Bujang Lapuk dengan segala petuah asmara' karena kata Wina Devan itu selalu menceramahinya supaya hati-hati dalam memilih pasangan, padahal Devan sendiri belum punya pasangan.

"Dasar. Anak itu," Devan terkekeh akhirnya. "Oh iya, Yaya, kebetulan saya belum sempat makan. Nggak apa-apa kalau kita mampir dulu?"

"Nggak apa-apa, Pak."

"Ada saran tempat makan di daerah sini?"

Oh tentu saja ada. Dan aku yakin, Devan akan menyesal kalau nggak mengambil saranku. "Bapak pernah mampir ke kedai bakmi depan kantor pos?"

"Belum."

"Berarti Bapak harus mampir ke sana. Nggak bohong, Pak, di sana bakminya enak banget. Dijamin ketagihan. Wina juga ketagihan.. yaaa, walaupun dia nyebutnya mi ayam tapi itu beneran bakmi kok, Pak!"

The Past Future [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang