"Nggak usah nangis, Yaya," ujar Arsa ketika air mataku jatuh.
Aku bukannya terharu dengan penuturan Arsa, aku cuma bingung nggak tahu harus gimana. Mau nolak Arsa, dia udah seserius itu, dan kata Mama juga jangan nolak yang datang, nanti jauh jodoh. Tapi, tiba-tiba aja ada rasa kesal yang semacam kecewa menguasaiku.
Adrian benar, kalau saja Arsa nggak pernah ada, mungkin aja aku juga nggak bakal pernah patah. Aku dan Adrian bisa hidup bahagia sejak dulu. Tapi kalau aku mau mengulang masa lalu dengan Adrian hari ini... Nggak deh, aku juga udah terlanjur jijik sama tingkah laku bejatnya.
"Jadi gimana?" tanyanya lagi.
Aku cuma bisa menarik kembali ingus supaya masuk hidung sambil berpikir. "Jangan sekarang ya, Ar."
"Lha, kenapa?"
Yaaa, karena aku harus yakinin diri juga. Aku nggak bisa balik lagi ke Adrian, tapi buat terima Arsa juga susah. Harusnya ada pilihan ketiga yang lebih baik, dan jaminan bahwa aku nggak bakal ketemu lagi dengan rasa kecewa di masa depan.
"Ya udah deh," kata Arsa. Lalu dia berdiri dari duduknya dan merogoh saku celananya. "Kemarin gue beli ini." Arsa mengeluarkan kotak kecil beludru biru tua. Dia membukanya setelah duduk kembali, dan aku bisa melihat kilatan permata cincin silver di dalamnya. "Tapi gue nggak tahu ini bakal cukup atau nggak."
"Jangan maksa." Aku tahu nih maksudnya mau ngapain.
"Nggak maksa." Arsa terkekeh kecil, terus meraih tangan kiriku paksa, dan memakaikan cincin bermata satu itu di jari manisku. "Cuma cobain aja dulu...eh, tapi ini pas lho, Ya. Nggak usah dilepas ya, udah cantik gitu."
"Arsa!"
Aku udah mau melepaskan cincin tersebut, tapi Arsa malah menahannya. "Ini bukan cincin tunangan, anggap aja gue cuma ngasih. Itu lumayan mahal lho, Ya. Kalau hilang kan sayang banget, itu hasil gue nabung selama berbulan-bulan sampai harus mintain makan sama lo."
Ya Tuhan, Arsa. Bikin nggak tega aja.
Setelahnya, Arsa cuma tersenyum sebelum beranjak ke luar rumahku, terus balik lagi bawa laptop dan barang-barang kerjaannya. Dia curhat segala tentang pekerjaan ia pikul sendiri karena belum merekrut karyawan untuk membantunya.
Alih-alih merekrut karyawan, Arsa malah melirikku dan tersenyum penuh misteri yang sudah aku hafal artinya.Ada rasa bersalah di hatiku karena nggak memberi jawaban yang jelas pada Arsa, maka aku menebus rasa bersalah itu dengan menyanggupi keinginan Arsa yang minta dibantu menyelesaikan tugasnya.
Satu yang baru aku sadari, ternyata wajah bahagia Arsa mampu mengangkat rasa bersalah di hatiku.
Lantas, dia menjelaskan pekerjaan-pekerjaan yang mungkin nggak bakal kepegang olehnya, seperti gambar, desain, yang begitu-begitu. Arsa memnag cerdas dalam hal perhitungan, tapi kalau untuk gambar-menggambar, dia selalu melimpahkannya padaku.
Aku suka suatu hubungan yang saling memberi, saling menguntungkan. Ketika Arsa meminta bantuanku, dia juga membantuku menyelesaikan masalah jabatan baruku. Memberitahu bagaimana cara mengatur sistem kerja yang sebelumnya bikin aku keteteran.
Arsa cuma ketawa-ketawa dengar keluh kesahku. Katanya, aku cuma perlu beradaptasi.Arsa menguap, matanya juga udah mulai sayu.
"Lo mau pulang?" tanyaku, ini emang udah malam banget. Mau nyuruh dia pulang dari tadi, sungkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Future [END]
Romance"Jadi Mas harus gimana sekarang? Mas bingung, Dek!" tegas pria di depanku. Aku menarik napasku dalam. Sebenarnya aku tidak mampu mengatakan ini padanya, aku jatuh cinta tapi tidak mau terbelenggu dengan kisah semu, aku lelah menerka hatinya. "Aku ha...