Daripada melihat kegabutan Arsa yang cuma mengupil sambil mainan ponsel, aku mendampar modul rapat dari PUPR pagi tadi ke meja depan Arsa.
"Gimana hasilnya?" Arsa langsung menegakan duduknya, menyimpan ponsel, lalu mengelap kelingkingnya dengan tisu. Sabar, Yaya.
"Pas pemohonan penyerahan PSU nanti harus ada site plan, IMB dan sertifikat induk sisa kavling."
"Jadi harus displit dong," tanggap Arsa mengerutkan dahinya sok-sok-an serius, padahal tadi aja lagi ngupil.
Tapi aku mengangguk aja. Mungkin Arsa lagi akting jadi bos depan Sesil. "Iya, terus masalah tanah pemakaman yang harus di split juga jadi kontroversi tadi. Tapi katanya ada beberapa pengembang yang bayar kompensasi ke desa atau kelurahan untuk tanah pemakaman, terus mereka diberi kwitansi dan surat pernyataan bahwa pengembang sudah membayar kompensasi untuk tanah pemakaman, dan pihak PU mau pertimbangkan proses itu.""Iyalah, masa tanah pemakaman harus di split juga, ngaco," komentar Arsa.
Memang dari tahun sebelumnya Arsa juga udah bingung dengan peraturan PUPR yang mengatakan kalau pengembang perumahan harus menyediakan dua persen dari lahan tanah perumahan untuk TPU dan harus displit. Menurutnya kalau tanah TPU di split lalu di-sertifikatkan berarti tanah itu akan jadi hak milik, nggak mungkin dijadikan Tempat Pemakaman Umum.
"Yaya, ya ampun!" Sherly yang baru saja kembali ke kantor begitu heboh langsung menghampiriku. "Rumah lo kena audit pihak bank, masa?!"
Kontan saja mataku terbelalak sampai rasanya mau keluar dari tempatnya saking terkejut. "Kok bisa?!"
"Karena nggak dihuni. Tadinya mereka cuma mau ngecek doang, tapi ada yang ngadu kalau rumah lo sudah berbulan-bulan nggak diisi," jelas Sherly. Aku melirik Arsa yang mengedikkan bahunya seperti tidak peduli.
Aku memang mengosongkan rumahku semenjak Adrian pindah ke unit sebelahku. Salah Arsa juga kukuh melarangku buat take over. Gini kan jadinya, malah ada yang ngadu segala.
Lagipula, banyak kok unit perumahan yang memang dibiarkan kosong karena pemiliknya cuma berinvestasi saja, diisi kalau ada yang ngontrak. Pake alasan pemiliknya lagi ke luar kota kalau ada audit dari bank, tapi kenapa bagian rumahku yang kosong, mereka malah mendadak julid?
"Kan baru beberapa bulan doang kosongnya, Ly. lagian gue juga lancar setoran perbulannya. kenapa bisa jadi masalah?" Aku beneran nggak habis pikir.
"Rumah lo kan KPR subsidi, Yaya, nggak boleh di kosongin. Mendingan lo isi lagi rumahnya, daripada subsidi lo dicabut dan setoran naik terus tiap tahunnya."
"Isi aja, Yaya. Sayang rumah lo kalau nggak ditempatin. Nanti malah jadi sarang hantu," imbuh Arsa kayak yang percaya aja sama mitos rumah kosong bakal jadi rumah hantu. "Dan gue juga nggak mau kalau nama perumahan gue jadi tercemar di bank cuma gara-gara rumah lo."
Aku mendecak kesal pada orang yang sudah melaporkan rumahku. "Lagian siapa sih yang ngadu, ribetin amat!"
"Katanya tetangga lo sih."
*
"Menurut kamu bagaimana?"
"Telepon aja, Mas," jawabku asal.
Aku kira Devan yang mengadukan rumahku, tapi ternyata bukan. Om-om ini mengaku kalau dia nggak pernah ketemu dengan tim audit bank. Aku percaya, soalnya Devan nggak ngambil cicilan KPR. Dia beli rumah buat ibunya secara kontan, langsung lunas nggak melibatkan perbankan. Jadi nggak mungkin dia atau ibunya sekali pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Future [END]
Romance"Jadi Mas harus gimana sekarang? Mas bingung, Dek!" tegas pria di depanku. Aku menarik napasku dalam. Sebenarnya aku tidak mampu mengatakan ini padanya, aku jatuh cinta tapi tidak mau terbelenggu dengan kisah semu, aku lelah menerka hatinya. "Aku ha...