"Menikah itu apa?"
"Menikah itu bikin Bunda Yaya jadi punya Ayah, biar Ayah bisa tinggal satu rumah sama Bunda Yaya dan bikin anak lucu-lucu kayak Dio."
Aku masih ingat terakhir kali aku menyimak obrolan Arsa dan Dio yang lugu. Saat itu, Adrian cuma diam saja sambil sesekali kami diam-diam nggak sengaja saling tukar tatap, karena kalau saling tukar perasaan, udah nggak bisa.
Arsa posesif sekali merangkulku depan Adrian sampai Dio menangis karena merasa Arsa mau merebut aku darinya. Dio benar-benar sudah menganggapku sebagai ibunya. Salahku juga yang nggak memberi pengertian sedari awal sampai aku harus melihat Dio yang terus menangis karena nggak rela aku bersama Arsa.
Aku bukannya mau tega pada Dio, tapi aku sudah memutuskan. Baik aku, Adrian, dan Arsa sudah sepakat buat menjalani hidup masing-masing. Adrian dengan Dio, dan Arsa dengan hidupnya; yaitu, aku.
Sekarang hanya kami berdua; Arsa yang masih memelukku, dan aku yang masih terbayang wajah sedih Dio. Bagaimana anak itu sekarang?
"Yayang..."
Bagaimana cara Adrian membujuk Dio kali ini?
"Yaya sayang..."
Bagaimana kalau Dio nggak bisa dibujuk?
"Hey!"
Haruskah aku mundur dari Arsa, dan memilih Adrian saja demi Dio?
"Anandiya!"
Astaga!
"Arsa." Aku melepaskan diri dari pelukan calon suamiku. "Kenapa?"
Pura-pura nggak sadar aja deh.
"Kamu kenapa, Yayang?"
"Jangan panggil aku kayak gitu." Telingaku suka geli setiap kali Arsa panggil aku dengan sebutan Yayang, alias Yaya Sayang. Lebay banget.
Arsa malah terkekeh dan berucap sengaja, "Yayang, Yayang, Yayang."
"Nyebelin!" Aku pelintir kulit pinggangnya sampai dia mengaduh. Heran aja, kirain kalau udah jadi calon suami, Arsa bakal berubah nggak lagi nyebelin, tapi ternyata sama aja. Emang benar kata Maminya, Arsa itu udah usil sejak dari dalam rahim pula. Udah kodratnya kayak gitu kali ya.
"Sakit dong, Yayang. Kamu tuh ceroboh banget sih, gimana kalau kalau pas kamu cubit, nyawaku keluar dikit saking sakitnya?"
Keluar dikit? Dikira kecepirit!
"Nanti aku meninggal bentar, Yayang. Emangnya kamu mau aku kayak gitu?"
"Kamu marah?" Nggak enak aja sih. Kalau dulu Arsa protes, suka aku damprat balik, tapi sekarang aku cuma bisa minta maaf.
Keadaannya sudah berbeda. Agak susah betadaptasi dengan status baru kami, tapi kata Arsa kita memang harus belajar. Bukan cuma aku yang kesulitan, tapi Arsa juga. Hanya saja, Arsa lebih cepat belajar, sedangkan aku nggak.
"Aku mana bisa marah sama kamu, Yaya." Arsa menarikku kembali dalam dekapannya setelah mengecup pelipisku sekilas. "Tapi jangan diulangi ya, itu kebiasaan lama. Daripada kayak tadi, mending kayak gini aja sih. Kita kan lagi latihan mesra-mesraan biar pas udah nikah nanti, kita nggak canggung. Lumayan, tinggal beberapa bulan lagi resmi jadi suami istri... Eh, setelah nikah nanti mau tinggal di rumah Papi aku dulu atau di rumah Papa Bagas?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Future [END]
Romansa"Jadi Mas harus gimana sekarang? Mas bingung, Dek!" tegas pria di depanku. Aku menarik napasku dalam. Sebenarnya aku tidak mampu mengatakan ini padanya, aku jatuh cinta tapi tidak mau terbelenggu dengan kisah semu, aku lelah menerka hatinya. "Aku ha...