Kenapa aku jadi deg-degan begini, padahal aku cuma perlu ketuk pintunya dan mengembalikan action figure Iron Man punya Dio. Tapi baru melihat pintu rumah Adrian saja, jantungku rasanya sudah seperti mau meledak. Ini pasti gara-gara Mama yang kemarin cie-cie-in aku sama Adrian. Waktu itu aku udah pengin ngamuk-ngamuk, tapi takut dikutuk jadi babu.
Tapi serius, saat ini aku merasa jadi manusia yang anti sosial karena begitu ragu mengetuk rumah tetangga sendiri. Kalau bukan karena mainan kesayangan Dio yang ketinggalan di rumahku, mana sudi aku mengetuk rumah Adrian. Tapi aku ingat, katanya Dio nggak bakal bisa tidur kalau Iron Man-nya hilang, aku jadi khawatir.
Arghhh, agaknya aku harus mengutuk sifat malaikat di diriku yang nggak tegaan. Maksudnya buat apa aku repot-repot balikin mainan Dio, toh kalau Dio nangis paling merepotkan Adrian. Bukan urusanku.
"Mas Adri?!" Akhirnya aku nggak mengetuk pintu, tapi memanggilnya langsung. Bodoh memang, tapi aku cuma peduli pada Dio, bukan Adrian.
Tidak ada sahutan ataupun tanda pintu akan terbuka. Apakah aku akan memanggil Adrian lagi?
Oh jelas tidak. Lebih baik aku balik badan, kembali ke rumah. Sebodo amat mau Dio nangis sampai kejang juga, salah bapaknya yang nggak membukakan pintu.
"Dek."
Meskipun udah kadung melangkah, aku berbalik lagi begitu mendengar suara pintu terbuka lalu panggilan Adrian. Aku langsung mengangkat mainan Dio di tangan kananku, "mau balikin ini."
"Silahkan," katanya. Aku nggak mengerti. "Maksudnya kamu bisa kasih langsung ke Dio. Dia masih nangis karena Iron Man-nya hilang. Kamu bisa bujuk dia?"
Sudah aku duga. Tapi aku bingung, tadinya kan aku cuma mau balikin mainannya saja, lalu masuk lagi ke rumah, rumahku, bukan rumah Adrian.
Aku takut masuk ke rumah Adrian, barangkali ada suatu hal yang mungkin akan membuatku sedih. Bagaimanapun juga itu kandang Adrian, bisa saja aku malah mendapati foto pernikahannya.
Akan tetapi, suara tangis Dio mulai terdengar telingaku. Ini salah Mama yang menurunkan ketajaman telinganya padaku. Rasanya aku pengin pura-pura tuli saja, tapi suara tangis Dio begitu memilukan sampai senggukan begitu. Aku nggak bisa berbuat tega lagi pada Dio, kasihan anak itu nggak punya ibu.
Adrian melebarkan pintu rumahnya, mengundang langkahku buat maju dengan mantap. Dadaku bergemuruh, demi apapun bentuk ruangan rumah Adrian tidak jauh berbeda dengan rumahku. Hanya terdapat dua kamar dan ruang tamu yang tanpa sekat dengan ruang keluarga. Bedanya, di rumahku ada sekat partisi lipat antara ruang tamu dan mini bar, tanpa ruang keluarga.
"Ibu Yaya." Aku tersentak kaget mendengar suara pria yang menyapaku. Menoleh ke arah sofa, aku mengulas senyum membalas sapaannya. Dia asistennya Adrian yang aku temui di bank, tempo lalu.
"Namanya Dean." Oh, ternyata namanya bukan setrikaan. Aku memang nggak sempat kenalan, aku terlalu panik waktu itu. Gara-gara Adrian juga kan.
Dan lagi-lagi, aku mendapat tatapan heran dari Dean. Aku sudah mau menjelaskan bahwa aku cuma tetangga Adrian, tapi Dio tiba-tiba muncul dari kamar sambil menangis, memanggilku Bunda. Emang dasar nasibku dicurigain terus.
"Iron Man Dio hilang, Bunda." Oh, Sayangku. Kasihan sekali.
Aku berjongkok, menyamakan tinggi dengan Dio. Tampak matanya sudah sangat sembab, wajahnya memerah, bibirnya mencebik, ingusnya meler ke mana-mana, dan air matanya masih berderai seperti air sungai. Aku malah ingin tertawa melihat wajah sedihnya Dio yang terlihat lucu, tapi kalau aku tertawa, mungkin Dio akan semakin menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Future [END]
Romance"Jadi Mas harus gimana sekarang? Mas bingung, Dek!" tegas pria di depanku. Aku menarik napasku dalam. Sebenarnya aku tidak mampu mengatakan ini padanya, aku jatuh cinta tapi tidak mau terbelenggu dengan kisah semu, aku lelah menerka hatinya. "Aku ha...