Meskipun akhir-akhir ini Arsa agak kurang bicara padaku--tepatnya, semenjak aku bercerita mengenai status Adrian-- kali ini aku nekat menerobos ruangannya, dan bercerita bagaimana menakjubkannya resepsi pernikahan Wina. Barangkali Arsa lagi puasa nyinyir, mau aku ingatin buat berbuka puasa. Normalnya, Arsa sudah mengeluarkan cemoohan-cemoohan sinis seperti, 'ah si Wina gaya-gayaan, nikah sama Om-om juga.' Atau, 'si Wina harusnya jadi gundik aja'.
Arsa memang terbilang nggak pernah akur dengan Wina. Sedari SMA mereka seperti bersaing, menempati posisi pertama di kelas. Peringkatnya saling salip-menyalip. Dan sampai sekarang, mereka malah seperti anak tiri dan Bapak tiri. Nggak pernah akur.
Tapi yang ada, Arsa malah mengulum senyum sepanjang aku bercerita. Nggak tahu dia emang antusias sama pernikahan Wina, atau cuma karena Dio yang aku ceritakan begitu ajaib. Maksudnya, sejak kapan Arsa ikut bersuka cita atas kebahagiaan orang lain?
Mendengar Riska hamil saja, dia cuek kayak yang nggak butuh tamu undangan di pernikahannya nanti.
"Gue sama Adrian sampai bingung gimana omonginnya lagi. Lo bayangin aja, sepanjang acara dia nyinyirin hal-hal nggak penting. Baju warna pink, bentuk wortel yang nggak simetris, baju pengantin Wina yang bling-bling, bunga-bunga yang nggak harum, sampai gue sama Adrian capek sendiri."
Aku mengurut kening mengingat tingkah Dio, sedangkan Arsa sudah tertawa terbahak, tanpa cemoohan, atau puji-pujian untuk Dio. Aneh sekali. Daripada berubah kalem begini, mending Arsa berubah jadi Ultraman Gaya kan?
"Gue nggak pernah nyangka kalau pernikahan Wina bisa bikin lo sebahagia ini," ucapku pada akhirnya.
Arsa menghentikan tawanya, dia berdeham dan tatapannya bergulir ke sembarang arah sebelum mengarah padaku, dan memancarkan sorot serius kayak yang mau ijab kabul.
"Kenapa, Ar?" Yang ditanya nggak menjawab, malah menunduk tapi tangannya merayap meraih tanganku di atas meja. Aku agak kaget, takut Arsa tiba-tiba memelintir jariku sampai bunyi. Arsa pernah melakukannya, bikin aku trauma.
Aku hendak menarik tangan, tapi Arsa malah menahannya. Tidak, dia menariknya sampai pada permukaan bibirnya. Sialan!
"Gue takut lo balik lagi sama Satria. Gue sayang sama lo."
Prank apa lagi ini, Arsa. Ya ampun, bercandaannya masih sekitar ini-ini aja.
Agaknya, Arsa memang harus diberi sedikit pelajaran. Mumpung nggak ada siapa-siapa, nggak bakal jadi fitnah lagi seperti yang sudah-sudah. Sekalian aku menanggapinya, "jangan bilang lo mau ngajak gue pacaran."
Robbie Rogers tetap bertahta di hatiku, meskipun aku sering patah hati setiap kali melihat postingannya sama sang suami.
"Hampir sepuluh tahun kita barengan, Ya, emangnya pacaran itu penting banget buat kita?" Dia masih memainkan tanganku dengan gerakan lembut tangannya, bukannya memelintir sampai bunyi. Ini hal yang tidak biasa. "Gue memang udah punya harapan hidup bareng lo ke depannya."
Dan ini bukan hal wajar lagi, tapi sudah melebihi batas kewajaran. Maksudnya, kalau memang iya kenapa baru sekarang?
Arsala Trihadian. Nama yang langsung terngiang di kepalaku semenjak hari pertama sekolah, saat cowok yang duduk di bangku paling depan berdiri penuh percaya diri, mengenalkan namanya. Postur tubuhnya tinggi, dengan bahu lebar, kulitnya halus kuning langsat, matanya bulat nyaris membelo, hidungnya mancung seperti bentuk patuk burung gagak, bibirnya ranum indah ketika tersenyum. Mungkin Arsa ini Ge Pamungkas versi lebih muda dan lebih kurus.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Future [END]
Romance"Jadi Mas harus gimana sekarang? Mas bingung, Dek!" tegas pria di depanku. Aku menarik napasku dalam. Sebenarnya aku tidak mampu mengatakan ini padanya, aku jatuh cinta tapi tidak mau terbelenggu dengan kisah semu, aku lelah menerka hatinya. "Aku ha...