Sebuah Rahasia

7.7K 721 28
                                    

"Bunda mau punya adik bayi?"

Aku mendengkus kesal mendengar pertanyaan dari Dio. Dia pasti tahu dari bapaknya.

"Enggak." Lalu aku menyorot Adrian, berusaha menunjukan kekesalanku sambil melempar dua buah testpack ke depan mukanya. "Negatif, karena aku emang masih segel!"

Adrian meneliti testpack tersebut lalu berucap, "syukurlah."

Saat itu, rasanya aku pengin banget pukul dadanya Adrian sampai bunyi 'bajingan' kalau aja Arsa nggak datang ke rumahku. Aku tahu, Adrian benar-benar nggak suka Arsa sampai dia bawa paksa Dio pulang karena mungkin saking nggak maunya berdekatan sama Arsa.

Awalnya Arsa juga agak cemberut lihat Adrian ada di rumahku. Dikiranya, lagi mengapel. Dan aku ceritain keadaanku sebelumnya, Arsa malah marah karena aku nggak langsung menghubunginya dan malah terima bantuan Adrian.

Melihat Arsa yang marah, aku langsung pura-pura pusing lagi dan ngaku belum makan. Arsa tangkas langsung ke dapurku, berkutat dengan alat-alat masak yang dulu dibelinya pake uangku supaya dapurku lengkap. Arsa emang begitu.

"Ayam krispi lada hitam dengan taburan biji wijen ditambah tumbukan cabai hijau diatasnya pakai daun kemangi juga, pesanan nona yang masih suka nangis kalau sakit tapi nggak bisa minum obat," tutur Arsa cepat dengan nada mengejek berarti udah nggak marah lagi.

Aku cuma memberengut selagi Arsa meletakan dua piring ayam geprek sambal cabai hijau di mini bar yang tersambung dengan dapurku. Arsa membuka Apronnya dan mengambil susu dari kulkas.

"Enak?" tanyanya saat aku menyuapkan ayam geprek buatannya.

Aku mengacungkan dua jempolku. Masakan Arsa emang nggak pernah gagal. Seenggaknya kalau sama Arsa, aku nggak bakal kelaparan. Ibaratnya, ada seng gelombang juga bisa dijadikan dimsum sama Arsa.

"Makan yang banyak, biar nggak gampang sakit. Badan lo juga harus gemukan, biar keliatan montok pas pakai kebaya nikahan nanti."

Aku langsung tersedak mendengar penuturan Arsa yang mengundang emosi banget. Mau marah, tapi dia keburu menyodorkan susu yang langsung aku teguk dalam satu kali tarikan napas.

Setelahnya, aku menatap Arsa kesal sesudah menyimpan gelas susu dan menjawab, "gue montok, lo aja yang nggak nyadar!"

Si Arsa terkekeh dan mengulurkan tangannya mengusap bibir atasku. "Lo kumisan, kayak bapak lo."

Sialan!

Aku nggak tahu harus gimana lagi. Ini Arsa tumben-tumbenan perhatian kayak gini, tapi masih tetep mengejek, bikin aku bingung. Sebenarnya dia serius atau cuma main-main.

"Arsa, sejak kapan lo suka sama gue?" Aku tanya aja buat memastikan, tapi Arsa malah langsung diam.

Untuk beberapa saat, Arsa nggak bergerak sama sekali, matanya terpaku padaku, dan mulai menjawab, "Dari hari pertama sekolah."

Oke, dia nggak terlihat lagi bercanda. "Selama itu?"

"Iya. Waktu itu gue lihat lo lagi periksa tabel pembagian kelas. Lo sibuk banget, gue juga. Jadi nggak keburu nyamperin. Tapi akhirnya, gue lihat lo masuk ke kelas gue dan duduk di bangku baris ke tiga. Sumpah, Ya, gue seneng banget pas liat lo dan mulai mikirin cara buat deketin lo, tapi nyatanya nggak semudah itu. Lo susah banget diajak ngomong. Kalau lo inget, gue pernah ngajakin lo ke warung, tapi lo cuma geleng kepala doang bikin gue bingung gimana ajakin lo ngobrol. Gue belum kehabisan akal, sampai akhirnya gue mulai jahilin lo buat cari perhatian, dan udah kepancing sifat aslinya, malah gue yang jadi korban nyinyiran lo. Gue merasa apes banget."

The Past Future [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang