"Bukannya kemarin kamu panggil saya 'Mas' ya, Dek. Kok sekarang jadi kakak?"
"Kemarin?" Bahkan aku baru tahu kalau kakak di belakangku ini berjenis kelamin laki-laki. Aku berbalik lagi ke belakang, melihat sang kakak kelas yang katanya aku panggil 'Mas'.
Oh shit! inikan Mas-mas cakep yang rebutan bakmi Mbak Yani sama aku waktu itu.
"Oh, hai, Mas..." Aku basa-basi, kali ini lebih manis. Aku lihat lagi nametage-nya karena lupa. Satria Adrianta.
"Mas Adri ya." Aku memakai nama belakangnya biar kayak bule, tapi dia malah menatapku datar. Ya udahlah!
Tanganku gemetar saat menyentuh perut buncit Dewi. Seumur-umur baru kali ini aku menyentuh perut ibu hamil enam bulan dan bayinya bergerak!
"Nikah gih, biar bisa punya bayi juga," ujar Dewi yang tidak aku hiraukan. Aku meraba-raba lagi perutnya, biar bayinya bergerak.
"Gimana mau nikah, pacar aja nggak ada," sindir Gita.
"Nanti juga ada." Aku menjawab sekenanya. Sepertinya bayi Dewi nggak suka orang judes, makanya dia tidak bergerak lagi.
"Jangan gitu, Yaya. Lo coba deh mulai pikirin ke depannya mau gimana, masa lo mau terus-terusan jadi beban bapak lo? Seenggaknya dengan lo menikah nanti beban bapak lo berkurang. Ada suami yang bakal mengambil alih," tutur Dewi bijak nggak seperti biasanya.
Dewi udah mulai serius, maka aku menjauhkan tanganku dari perutnya. Giliran aku yang serius, "kenapa juga bapak gue harus merasa terbebani. Biarpun gue belum nikah tapi kalau jajan gue tanggung sendiri, rumah juga gue cicil sendiri. Gue single berpenghasilan, Wi, jadi nggak terlalu membebankan bapak gue."
Aku memang sudah mulai menyicil KPR hitung-hitung menabung untuk masa depan. Dan juga aku sengaja beli rumah di perumahannya Arsa supaya kalau pulang malam, aku nggak perlu jauh-jauh pulang ke rumah Papa. Dan betapa beruntungnya juga Dewi yang rumahnya berdekatan dengan rumahku. Kami bestie, tetangga, goals banget.
"Maksudnya, gue yakin meski begitu orangtua lo pasti ada khawatir, apalagi pas lo malah pulang ke rumah lo sendiri. Kalau ada suami kan lo ada yang jagain juga, Yaya."
Apa perlu aku menyewa bodyguard?
"Wi, tenang deh! Gue juga yakin kok kalau sudah waktunya, jodoh bakal datang. Lagian Wina aja yang belum punya suami santai-santai aja kok. Iya kan, Win?" Aku merangkul bahu Wina nyari sekutu sepernasiban.
"hmm.... aku udah tunangan lho, Ya." Wina menunjukan jari manisnya yang sudah terpasang cincin tunangan dengan tampang sok imut.
Sontak semua yang ada di sekitarku tertawa terbahak-bahak, bahkan gitapun yang biasanya kalem sekarang malah ngakak sambil sujud-sujud. Mereka nggak setia kawan.
Aku lupa kalau Wina baru aja tunagan, dan dia lagi senang-senangnya sampai norak pemerin cincin bermata satu ke semua orang.
Di tengah gemuruh suara tawa yang mengejekku, ponselku ikut-ikutan berdering. Karena aku masih jadi objek bahan tertawaan, sekalian saja aku cari alasan, pamit mengangkat telepon Papa dan mencari tempat sepi.
Aku menelepon Papa lagi begitu sampai di depan toilet karena tadi nggak sempat mengangkat. Sambungannya keburu terputus.
"Hallo, Pa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Future [END]
Romance"Jadi Mas harus gimana sekarang? Mas bingung, Dek!" tegas pria di depanku. Aku menarik napasku dalam. Sebenarnya aku tidak mampu mengatakan ini padanya, aku jatuh cinta tapi tidak mau terbelenggu dengan kisah semu, aku lelah menerka hatinya. "Aku ha...