[6]

630 47 10
                                    

---

Bintang menuju parkiran untuk memgambil motornya. Setidaknya rindunya telah terobati setelah beberapa menit bertemu dengan orang yang disayanginya, meskipun orang itu tidak pernah tahu.

Ting!

Mikaila🍭
Kenapa gak kumpul?
Tumben gk bilang sm aku?

Bintang hanya membaca pesan itu tanpa niatan membalasnya. Sekali-kali Bintang ingin memberinya pelajaran, agar orang itu berhenti mengganggunya. Ia punya urusan yang lebih penting dari mengurusi Mikaila Amarissa.

---

Rena tadinya tidak ingin mengganggu acara kencan Gilang--itulah yang ia tangkap. Sejak bel pulang sekolah berbunyi ia sudah mengintip Gilang di kelasnya. Awalnya ia tidak bermaksud mengintip, tapi Gilang yang nampak sedang menyalin catatan dengan ditemani seorang perempuan membuat Rena menahan diri untuk menghampiri Gilang.

Diam-diam Rena juga memotret potongan adegan yang biasa ia lihat di dalam film romance. Hanya dengan sekali lihat saja Rena sudah tahu kalau perempuan yang duduk di samping Gilang mempunyai rasa pada kembarannya.

Namun Rena tidak bisa mengintip bak penguntit lebih lama lagi. Setengah jam lagi ia harus bertemu dengan Fauzan dan orangtuanya untuk membahas perjodohan mereka--yang sebenarnya Rena malas membahasnya.

Toktok!

Rena mengetuk pintu kelas yang terbuka sebelum masuk. Setelah mendapat atensi dari penghuni kelas, ia pun masuk dengan langkah ringan.

"Gilangku, sayangku, cintaku, separuh jiwaku. Ikut gue bentar kuy!" Rena mengedipkan sebelah matanya. Diam-diam Rena melirik perempuan di samping Gilang yang langsung memalingkan wajahnya.

Gilang dengan ringan tangan langsung mendorong wajah Rena menjauh. "Jijik. Mau muntah pelangi gue." Gilang memasang ekspresi mual miliknya--yang berlebihan.

"Ehm, Lang. Lo udah beres kan nyalin catetan gue? Gue duluan ya!" Perempuan itu segera mengambil catatannya dan pergi ke luar kelas.

Rena pun mengambil alih tempat duduk di samping Gilang. "Gila tuh cewek, jutek bener. Senyum ke gue aja kagak." Rena memutar bola matanya malas.

"Siapa sih namanya? Kesel gue." Gilang hanya bisa menghela napas dan menyabarkan diri. "Namanya Olivia."

"Lain kali lo jangan panggil gue 'Gilangku, sayangku' lagi kalo ada orang lain. Gue yang malu, nyet." Ujar Gilang sambil membereskan alat tulisnya. "Berarti kalo gak ada orang lain boleh?" Tanya Rena dengan mata berbinar.

Gilang mendengus. "Suka-suka lo aja dah."

"Ngapain lo nyamperin gue? Gue gak mau nganterin lo balik ya, karena gue masih punya urusan di sekolah."

"Tahu aja lo gue mau minta dianterin." Rena terkekeh. "Tapi ini penting, Lang."

"Sepenting apa? Kalo cuma nganterin lo ke toko buku sih sori-sori aja ya, gue gak ada waktu. Minggir!" Gilang menyampirkan tasnya dan berniat pergi.

"Ini lebih penting dari sale buku murah, Gilangku." Rena merentangkan tangannya, memblokir akses jalan bagi Gilang. "Papa nelpon gue, hari ini gue harus ketemu sama ortunya Ojan buat bahas perjodohan itu." Rena memelankan suaranya saat menyebut kata 'perjodohan'.

"Waduh... tidak bisa dibiarkan! Gue bakal anterin lo dan ikut bahas perjodohan itu sampai beres!" Ujar Gilang menggebu-gebu.

Dengan semangat 45 Gilang menyeret Rena ke area parkir dan mengantarkan Rena dengan kecepatan yang tidak main-main.

"Gilang! Kalo mau mati jangan ngajak gue, bangsat!" Rena heboh menepuk--memukul--bahu Gilang.

"Diem, nyet! Gue ajak mati beneran juga lo!"

---

Fauzan sibuk memainkan handphonenya di ruang tamu. Ia sedang menunggu orangtuanya yang masih asyik berdandan untuk membahas perihal perjodohannya. Ia sendiri sudah siap dengan kaos putih bergambar wayang dan celana jeans.

"Ya ampun, Ian! Kok kamu belum siap-siap sih?!"

Suara Bunda berhasil mengejutkan Fauzan. Bunda nampak cantik dengan dress berwarna hitam yang dihiasi motif bunga. Ayah juga nampak gagah dengan setelan formalnya. Berbanding terbalik dengan Fauzan yang mengenakkan setelan santai.

Ngomong-ngomong, Ian adalah nama kecil Fauzan.

"Duh, Bunda. Lagian buat apa dandan rapi-rapi? Kemaren aja Rena cuma pake seragam gak masalah." Fauzan mengacak rambutnya frustasi.

"Ganti baju."

"Bundaa..."

"Sekarang, Ian."

"Yaudah, Bunda sama Ayah aja yang pergi. Ian gak ikut!" Fauzan merenggut layaknya anak kecil yang tidak dibelikan balon oleh orangtuanya.

"Udahlah, Bun." Ayah melerai perdebatan antara ibu dan anak itu. "Ayo, berangkat!"

---

Arya terkejut saat melihat kedua anaknya datang dengan seragam sekolah. Melihat Arya sudah berkacak pinggang, mau tidak mau anak kembar itu harus memutar arah dan mengganti pakaian mereka. Setelah beberapa saat mereka kembali dengan setelan ala couple zaman now.

"Eh, Papa gak kasih uang buat beli baju kayak gini." Arya melipat kedua tangannya di dada sambil melontarkan protesnya. Pasalnya ia meminta dua anaknya itu untuk berpakaian rapi dan formal, bukannya berpenampilan layaknya couple goals. Ada rada sesal di hati Arya karena menyerahkan kartu kreditnya agar anaknya berpenampilan lebih baik.

"Nguehehehe. Udah kayak couple-couple di instagram belum, Pa?" Tanya Gilang sambil menaik-turunkan alisnya. Arya hanya menggelengkan kepala dan menyuruh mereka duduk. Percuma saja menasehati kedua anaknya yang membagi satu otak untuk berdua.

Akhirnya tamu yang dinanti-nanti pun tiba. Arya segera berdiri untuk menyambut kedatangan tamunya--yang diikuti kedua anaknya. Setelah berbasa-basi Arya mempersilahkan tamunya untuk duduk. Tanpa Arya ketahui, kedua anaknya sudah saling adu tatap dengan Fauzan yang duduk di seberang mereka.

"Sebelumnya perkenalkan, ini kembarannya Rena. Namanya Gilang." Ujar Arya memperkenalkan Gilang pada orangtua Fauzan. Gilang hanya tersenyum dan agak membungkukkan badannya.

"Wah, kembar ya? Tapi kok gak mirip?" Pertanyaan spontan dari ibu Fauzan membuat anak kembar itu sedikit tersinggung. Bahkan Fauzan sudah melotot karena terkejut mendengar perkataan Bunda.

"Kembar gak identik, Tante. Jadi ya.. gini." Balas Rena yang cenderung garing. "Oh, gitu." Bunda mengangguk tanda paham.

Dan yang terjadi selanjutnya adalah perbincangan antara orangtua kedua belah pihak yang sama sekali tidak digubris oleh anak-anaknya. Rena mendekatkan wajahnya ke telinga Gilang, bermaksud berbisik.

"Bosen banget, sumpah." Bisik Rena. Gilang menoleh dengan kerutan di dahinya. "Lo mau dijodohin, goblok. Seenak jidat lo ngomong 'bosen'?!" Balas Gilang yang juga berbisik.

"Tapi itu semua tergantung anaknya sih, soalnya saya juga gak mau maksa." Ujar Wira--ayah Fauzan. Perlahan ia melirik anaknya, "Gimana? Kamu mau gak sama Rena?"

Tubuh Fauzan beku seketika, begitu pula dengan si kembar Athalia-Atthariq. Mereka saling melempar pandang satu sama lain. "Ka-kalau Ian sih, gimana baiknya aja, Yah." Fauzan menggaruk tengkuknya.

Ck, dasar laki-laki gak punya pendirian, cibir Gilang dalam hati.

Sekarang giliran Rena yang mendapat tatapan yang penuh dengan tuntutan jawaban dari Papanya. "Rena sih ikut aja ya, Pa." Gilang kembali misuh-misuh di dalam hati. "Tapi kalau seandainya kita gak cocok gimana?"

"Maka perjodohan dibatalkan." Jawab Wira. "Dari awal saya dan Arya tidak mau ada unsur pemaksaan dalam perjodohan ini."

"Jadi untuk ke depannya, kalian sudah terikat dalam perjodohan ini."





---

Eng ing eng....!!!

Nilai rapot aman?

Papay,
Ranikazz_

Seriously?!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang