[10]

517 35 2
                                    

Kanaya tak habis pikir, sebenarnya apa yang diinginkan perempuan itu. Kenapa harus Andhika? Melihatnya saja sudah membuatnya muak. Bisa-bisanya Alika bergelayut manja di lengan Andhika. Argh, ingin sekali Kanaya melontarkan kata kasar padanya!

Padahal kemarin Kanaya melihat Andhika berduaan dengan temannya sendiri. Kanaya tekankan, temannya sendiri. Tapi ya, Kanaya tidak pernah bilang pada temannya kalau ia menaruh hati pada Andhika.

Sekarang ia bingung harus menyalahkan Andhika atau Alika yang terus menempel pada semua cogan di sekolah. Huh, menyebalkan!

Sebelum pergi, Kanaya menghentakkan kakinya karena kesal. Bisa-bisanya ia berdiam diri dan menonton adegan seperti itu dengan mata kepalanya sendiri. Oh, bahkan ia baru ingat bahwa ia punya janji dengan teman-temannya.

🎶🎶🎶~~~

Nah kan. Arin menghubunginya lewat video call. Kanaya mencari tempat sepi sebelum menjawab panggilan. "Iya-iya bentar lagi gue ke parkiran," ujar Kanaya begitu menjawab panggilan.

Terlihat Arin dan Fanny saling berdempetan agar wajah mereka terlihat di dalam layar. "Cepetan napa! Dira ama Lia juga belom nongol nih!" ujar Fanny.

"Iya-iya, gue ambil tas dulu di kelas," balas Kanaya lalu memutuskan panggilan.

---

Menyebalkan.

Bisa-bisanya Gilang melihat Fauzan asyik berduaan di kantin dengan Silva. Tumben sekali, biasanya Alika yang selalu menempel padanya. Lagi pula apa peduli Gilang terhadap Fauzan dan jajaran selirnya yang tak terhitung.

Masih hangat di ingatan Gilang kejadian kemarin. Kembarannya diturunkan begitu saja di pinggir jalan. Laki-laki macam apa itu? Tidak bertanggung jawab sama sekali, huh!

Dan yang lebih menyebalkan adalah Gilang harus merelakan uang seratus ribu miliknya.

Kemarin, Gilang berencana pulang bersama Rena karena ia bisa pulang lebih awal--biasanya Gilang pulang saat matahari akan terbenam. Kalau perlu Gilang ingin meminta Rena memasakkannya sesuatu saat sampai di rumah. Tapi bayangan itu musnah saat ia melihat Rena naik ke mobil Fauzan.

Gilang segera mengikuti mobil Fauzan dengan motor miliknya. Gilang memilih posisi yang tidak terlalu dekat dengan mobil Fauzan agar tidak ketahuan. Di pikirannya muncul berbagai 'trik modus ala Fauzan' yang pernah ia lihat. Jangan sampai kembarannya termakan tipu muslihat seorang Fauzan Imanero.

Oh, mobilnya berhenti. Gilang pun ikut berhenti dengan posisi cukup jauh dari mobil.

Cukup lama ia menunggu sampai otaknya penuh dengan adegan tidak senonoh yang mungkin terjadi di dalam mobil. "Gak, gak mungkin. Kembaran gue gak bakal diapa-apain. Iya, teteh gue gak bakal kenapa-napa," bisik Gilang pada dirinya sendiri.

"Tapi gimana kalau... argh!!" Gilang memukul kepalanya yang terlindungi oleh helm. Bahkan beberapa pengendara yang lewat menoleh padanya.

Mata Gilang menangkap Rena keluar dari mobil dengan ekspresi kurang mengenakkan. Ia memperhatikan kembarannya. Baju rapi, aman. Setidaknya tidak ada tanda-tanda kekerasan atau apapun itu pada Rena.

Jalanan cukup sepi. Hanya ada satu atau dua kendaraan lewat. Ia heran pada kembarannya. Kenapa gak naik angkot aja sih? Gilang bertanya-tanya dalam hati. Baiklah, Gilang memutuskan menghampiri Rena layaknya pahlawan super.

Oh, ia lebih terkejut lagi sekarang. Kembarannya menangis. Cengeng banget sih lo, batin Gilang. Tapi mulutnya berkata, "Ayo balik!"

Mungkin karena terharu kembarannya datang bak seorang pahlawan, Rena langsung memeluk Gilang. Ingin rasanya Gilang menenangkan kembarannya dengan ucapan, "Gapapa, ada gue di sini."

Seriously?!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang