Hari menjelang malam dan langit tidak dihiasi benda-benda bercahaya yang indah. Fauzan memetik gitar miliknya sembari menatap langit dari jendela kamarnya. Diam-diam dia merutuki dirinya sendiri karena bertingkah seperti seorang pujangga yang akan menuliskan lirik-lirik di kala sunyi.
Ia meraih ponselnya yang terletak tidak jauh darinya. Hanya sekedar mengecek jam dan kembali melemparkan benda itu ke tempat semula.
Perkataan Bintang terus berputar di kepala Fauzan. Tentang dirinya yang merasa tidak berpacaran dengan Mikaila. Dan yang Fauzan lihat, Bintang tidak merasa bersalah sama sekali.
Menurut Fauzan, tindakan temannya itu kejam. Tidak sepantasnya seorang lelaki memberi harapan palsu pada wanita. Terlebih dia sering mendengar curhatan teman perempuan sekelasnya yang sering menjadi korban php. Atau, apa mereka yang terlalu berharap?
Dan Fauzan tidak mau menjadi seperti Bintang. Dia membuktikan dirinya sebagai seorang lelaki.
Tadi siang, ia resmi berpacaran dengan Silva.
---
Suara pintu kamar yang diketuk tiap sepuluh menit sekali tidak berpengaruh pada para penghuni kamar. Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sembilan. Mungkin ini masih terbilang pagi karena hari ini adalah hari minggu. Dan waktu yang tepat untuk bermalas-malasan, termasuk bagi si kembar.
Tiap kali mendengar suara ketukan, Gilang akan menarik selimutnya makin tinggi. Bahkan hanya terlihat rambut hitamnya saja yang tidak beraturan. Sementara itu kakinya berkeliaran di luar selimut.
Berbanding terbalik dengan kembarannya yang berganti posisi tidur tiap mendengar suara ketukan. Sebenarnya Rena sudah bangun, hanya terlalu malas untuk meninggalkan tempat tidur di hari libur. Sebagian nyawanya juga belum terkumpul sempurna hingga gaya gravitasi dari kasurnya menarik dirinya agar kembali terlelap.
Toktoktok..!
Oke, baiklah. Rena menyerah.
Entah itu sudah ketukan ke berapa pagi hari ini. Dengan malas dan mata masih setengah terbuka Rena membuka pintu kamar. Sekedar untuk memberitahu Mama kalau salah seorang penghuni kamar sudah bangun. Lagipula ia dan kembarannya beruntung punya Mama yang penyabar menghadapi kedua anaknya yang--begitulah.
"Good morning, Rena Athalia."
Tunggu, itu bukan suara Mama! Rena tentu tidak bodoh dan langsung mengetahui itu suara laki-laki. Papanya? Tapi tumben sekali Papanya datang ke rumah sepagi ini. Terlebih hari ini hari libur dan merupakan waktu libur bagi Papanya yang merupakan seorang workholic.
"Ternyata lo bisa jelek juga ya," Rena mendengar pemilik suara itu sedang mengejek dirinya.
Rena mengucek matanya dengan kasar lalu membuka matanya lebar-lebar.
Jengjengjeng!
Fauzan berdiri di depannya dengan senyum tengil menghiasi wajahnya. Bahkan ia mencondongkan tubuhnya ke arah Rena dan mengedipkan sebelah matanya sambil mengacungkan v sign dengan dua jarinya.
"Lo ngapain di sini, gorila?!" Rena histeris dan segera menutup wajahnya dengan tangan.
Fauzan mendesah pelan. "Gue ke sini buat nagih 'terima kasih' dari lo."
"Dengan cara datang ke rumah gue sepagi ini?!" Pekik Rena kesal. "Kenapa juga Mama izinin lo ke kamar gue? Ini privasi cewek tahu gak?!"
Fauzan menelisik isi kamar Rena lalu ia menemukan kejanggalan. "Bisa-bisanya lo ngomong kayak gitu saat lo sendiri tidur sekamar sama cowok. Walaupun dia kembaran lo, tetep aja. Lo cewek, dia cowok." Fauzan menekankan pada kata cowok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seriously?!!!
Teen Fiction#1 in kembar (20200630) #8 in teman (20200607) #9 in twin (20200625) --- "Sejak kapan gue kembaran sama lo?!" Rena Athalia yang awalnya hidup sebagai anak tunggal, kini harus meyakinkan dirinya bahwa ia memiliki kembaran bernama Gilang Atthariq. Sel...