[20]

388 29 5
                                    

Baru kemarin ia diperbolehkan pulang ke rumah tapi ia sudah kembali ke rumah sakit ini lagi. Dengan seragamnya yang masih lengkap, Bintang berjalan menuju ruang rawat yang selalu ia kunjungi. Bedanya, hari ini ia tidak membawa setangkai mawar seperti biasanya. Ia terlalu bersemangat untuk menjenguk gadis itu dan ia harap gadis itu tidak marah.

Bintang berada di depan ruang rawat gadis itu. Dari dalam kamar, ia mendengar suara wanita yang kemungkinan ibu dari gadis itu. Ia mengurungkan niatnya karena tidak mau mengganggu waktu berharga antara ibu dan anak. Jadi Bintang memilih putar arah dan kembali lagi besok.

"Saya tahu kamu selalu jenguk anak saya."

Suara wanita yang terdengar tegas menghentikan langkah Bintang. Otomatis dia langsung membalikkan badannya dan berhadapan dengan wanita yang Bintang yakini adalah ibu dari gadis itu.

"Kamu kan yang selalu menaruh mawar di kamar anak saya?"

Bintang mengangguk, ia tidak bersuara. Hanya mendengarkan ucapan dari wanita itu.

"Mulai sekarang, kamu gak perlu jenguk anak saya lagi. Saya sudah mengikhlaskan dia." Wanita itu terlihat sedih.

"Maksud, Tante?!" Bintang memekik cukup keras.

Wanita itu menghela napas. "Saya sadar, selama ini saya cuma menahan dia pergi. Dokter bilang sudah tidak ada harapan lagi jadi saya memutuskan untuk mengikhlaskan dia."

Bintang mematung. Untuk beberapa saat, ia lupa bagaimana caranya bernapas. Jantungnya seolah jatuh dari tempatnya. Entahlah, Bintang kalut sekarang.

"Dan saya menemukan ini di tas anak saya. Kamu temannya kan? Tolong berikan ini pada teman-temannya yang lain. Tidak saya sangka, dia menulis surat untuk teman-temannya." Wanita itu menyodorkan empat buah amplop. Bintang menerimanya walau ia sendiri kebingungan.

Di pojok kiri atas amplop terdapat nama yang pastinya tujuan surat itu. Ada empat amplop, yang berarti ada empat tujuan.

"Terima kasih karena sudah mau menemani anak saya belakangan ini. Saya permisi," Wanita itu pamit dan kembali masuk ke kamar rawat.

Kemudian Bintang duduk di kursi yang ada di sepanjang lorong rumah sakit. Entah kenapa, rasanya ia kehilangan sesuatu yang bahkan bukan miliknya. Sesuatu yang bersinar namun ia buta untuk melihat sinar itu.

Gadis itu.

Setelah menguatkan dirinya, Bintang merobek amplop yang bertuliskan namanya dan mengambil sepucuk surat yang tersembunyi di dalamnya.

Untukmu, Gemini Bintang Alamsyah
Sosok yang hanya bisa kulihat tanpa bisa kuraih

Seperti namamu, Bintang
Kamu menerangi hidupku
Dengan senyummu yang bukan untukku
Dan bukan aku yang menciptakan senyuman di wajahmu

Rasa bersalah menyelimuti tubuhnya. Kenapa ia terlalu bodoh untuk menyadari keberadaannya? Andai waktu bisa diputar, Bintang ingin mengatakan pada gadis itu kalau ia juga memiliki perasaan yang sama. Tapi ia hanya bisa berandai-andai karena semuanya sudah terlambat.

---

Setelah merenung cukup lama di rumah sakit, Bintang kembali ke sekolah dengan tiga amplop di tangannya. Amplop miliknya sudah diamankan di tasnya. Ia tidak mau surat itu lecet apalagi hilang. Ini hadiah dari gadis itu.

Sebenarnya ia penasaran dengan isi amplop lainnya. Kenapa gadis itu menulis surat juga untuk mereka? Jujur saja, Bintang cemburu. Ia merasa diduakan.

Tapi bagaimana pun, mungkin ini hal terakhir yang bisa Bintang lakukan untuk gadis itu.

Dengan langkah ringan, Bintang mencari Gilang ke kelasnya. Namun hasilnya nihil, Gilang tidak ada di sana. Tidak ada orang di kelasnya dan kelas itu terkunci. Bintang melirik jam yang melingkar di tangannya, ini masih terlalu siang untuk seorang Gilang pulang ke rumahnya. Bintang berpikir sejenak lalu pergi ke ruang osis, siapa tahu Gilang ada di sana.

Lagi-lagi hasilnya nihil. Hanya ada beberapa anggota osis yang tidak dikenalnya. Tapi Bintang menemukan tas Gilang teronggok di pojok ruangan. Setidaknya anak itu masih berada di lingkungan sekolah.

Akhirnya Bintang memutuskan untuk menelpon Gilang. Terdengar nada sambung yang cukup lama hingga suara operator yang mengatakan bahwa nomor tersebut tidak dapat dihubungi. Walau kesal, Bintang memilih menjelajah sekolah untuk mencari Gilang. Untuk memberikan amplop titipan seseorang.

Bintang mengumpat dalam hati. Ia sudah mengunjungi tiap tempat yang kemungkinan Gilang kunjungi di sekolah. Entah apa yang ada di pikiran Bintang, dia memutuskan untuk mencari di taman belakang sekolah. Ya, walaupun jarang sekali ada anak yang nongkrong bila bel pulang sudah berbunyi. Dan konon katanya, tempat itu angker.

Mata Bintang menangkap keberadaan seseorang. Orang itu naik ke kursi dan tangannya berkutat dengan entah apa itu, Bintang tidak melihat dengan jelas. Saat mendekat, Bintang menemukan Gilang yang sibuk mengikatkan tali tambang pada ranting pohon yang cukup besar. Dari pergerakannya, Gilang hendak mengikatkan ujung tali pada lehernya. H-hei, Gilang tidak berusaha untuk bunuh diri kan?

"Gilang!"

Bintang berseru sambil berlari ke arah Gilang lalu mendorong lelaki itu dari kursi yang menjadi pijakannya dan mengharuskan Gilang jatuh menghantam tanah.

Tak cukup sampai di situ, Bintang menarik Gilang agar berdiri lalu mencengkram kuat kerah bajunya. Sorot mata Bintang penuh amarah dan kesal yang bercampur dengan kekhawatiran. Sementara Gilang menghindari kontak mata dengannya.

Bintang membanting Gilang ke tembok terdekat. Napasnya memburu dan jantungnya berdegup cepat.

"Lo udah gila, hah?! Mau ngapain lo tadi?!"

Gilang bergeming.

"Jangan diem aja! Jawab pertanyaan gue!"

Gilang tetap bergeming.

Plakkk!!!

Satu tamparan di pipi Gilang berhasil mengembalikan kesadarannya. Ia mulai menatap Bintang--sebentar--lalu kembali membuang muka.

"Jawab pertanyaan gue, lo mau ngapain tadi?!"

"Menggantung diri gue sendiri. Ada masalah?"

Bintang melepaskan cengkramannya pada Gilang dan membuat lelaki itu merosot ke tanah dengan tatapan kosong.

"Lo udah gila?!" Bintang berjongkok di hadapan Gilang.

"Gue nggak gila. Nyokap gue yang gila."

"Dia bilang gue harus sempurna dan gue gak berhasil. Jadi buat apa meneruskan hidup gue sementara gue gak dihargain bahkan sama nyokap gue sendiri?!"

"Gue gak berguna, Bin. Gue cuma sampah!"

Bintang menghela napasnya dan memberikan salah satu amplop yang bertuliskan nama Gilang dan memberikan amplop itu padanya. "Titipan."

Alis Gilang berkerut saat menerima amplop itu. "Dari siapa?" Tanyanya kemudian.

"Nanti lo tahu saat lo buka amplop itu." Bintang tersenyum simpul sambil menepuk bahu Gilang. "Satu hal yang perlu lo tahu, lo berharga bagi orang yang memberi amplop itu buat lo."

"Dan gue harap, lo gak mencoba untuk bertindak bodoh kayak tadi," Bintang merubah posisinya menjadi duduk.

"Lo itu berharga. Mungkin lo dianggap sampah dan gak berguna oleh beberapa orang. Tapi bagi seseorang yang mungkin gak lo sangka-sangka, kehadiran lo sangat berarti di hidupnya."

Gilang terdiam. Ia mencoba mencerna kata-kata Bintang kemudian ia melirik amplop di tangannya. Di pojok amplop terdapat namanya yang berarti amplop itu memang ditujukan padanya.

Gilang Pratama.






---

Haiii semuanyaaa!!!

Ini entah hari ke berapa aku--atau mungkin kita--nggak keluar rumah:")

Semoga badai ini cepat berlalu dan aku termasuk angkatan corona lhoT_T

Eh tp tugas gak sebanyak waktu sebelum diperpanjang sih liburnya, eh maksudnya berjuang di rumah:"

Btw, enaknya ditamatinnya chapter berapa nih? Udah keliatan keknya endingnya begimana ye kan?

#dirumahaja

Papay,
Ranikazz_

Seriously?!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang