Dengan sedikit ragu, Sekar mendekat ke arah 3 remaja yang dari penampilannya saja sudah terlihat bahwa mereka adalah anak orang kaya.
"Ada apa mas?" Tanya Sekar dengan tatapan polosnya.
"Mas? Mas Mostaf? Aduh ngakak gua," ledek Exie disela-sela tawanya.
"Jadi gini, dia namanya Sekar Mirah Anjani, panggilannya Cece waktu kecil. Nah Ce, ini Mostaf kalo yang itu Exie. Lo cukup panggil nama aja ga usah pake mas atau mba. Terus Exie masih kelas 10, tapi dia 2 tahun lebih muda dari kita soalnya akselerasi waktu SD. Nah si Mostaf seumuran sama kita," jelas Javier panjang lebar setelah terkekeh mendengar sahabatnya dipanggil mas.
Dengan lugunya Sekar hanya mengangguk sebagai reaksi dari penjelasan Javier.
"Oh ya, tadi ada apa manggil saya mas eh Mos-Mostaf?"
"Gapapa, aku pengen kenalan doang. Tapi udah dikenalin duluan sama Javier."
"Ciaelah mas Mostaf, pakenya aku kamu, sok iye dasar," ledek Exie lagi.
Mereka bercengkrama layaknya sahabat yang sudah lama tak jumpa. Bertukar pikiran, berbagi pengalaman, sampai membandingkan SDM di kota dan desa.
"Ih dulu kamu mah belom seganteng ini, sekarang udah ga buluk juga, makannya saya sempet pangling tadi pas nganterin kopinya," jawab Sekar terkekeh sampai matanya menyipit.
"Eh elo temenan sama Cece dari kapan emang? Bukannya lo dari kecil dah di Jakarta ya?" Tanya Mostaf mewakili rasa penasaran Exie.
"Setiap libur semester pan gue disini. Jadi gue ketemu Cece ya cuma sebulan paling lama, kadang kalo lebaran gue main kesini dia balik ke Sunda."
"Oo Cece asli Sunda? Kirain Jogja," ujar Mostafa.
"Dih sok tau lu," samber Exie yang mulai sensi karena daritadi tidak menemukan sinyal.
"Kenapa bisa kamu ngira saya asli Jogja?" Tanya Sekar tidak menghiraukan Exie.
"Soalnya kamu istimewa," gombal Mostafa seraya menunjukan cengiran kudanya.
"Sa ae lu keringet supir angkot." Lagi-lagi Exie melampiaskan kekesalannya dengan sewot kepada Mostafa.
"Lo cari sinyal disini sama aja kek cari jerami di tumpukan jarum, cuma bikin sakit tapi ga ada hasilnya," ucap Javier sambil menyeruput kopi yang mulai mendingin.
"Oh ya ngomongin sinyal, kamu tau ga apa bedanya kamu sama sinyal?" Tanya Mostafa yang membuat Exie menghembuskan nafasnya kasar karena bosan mendengar gombalan-gombalan receh dari sahabatnya.
"Kalo sinyal itu untuk nyambungin internet, kalo saya untuk nyambungin perasaan kamu gitu?" Tebak Sekar asal.
"Em boleh juga, tapi bukan itu. Bedanya, kalo sinyal kan 4G (for ji) nah kalo kamu for me."
"Hala bullshit, boro-boro 4G, 3G aja kaga ada disini. Noh liat, silang malah sinyalnya," kesal Exie untuk yang kesekian kalinya.
"Dah la males." Mostafa yang moodnya memburuk pergi begitu saja meninggalkan Exie, Javier, dan Sekar terkekeh geli.
Karena saat itu yang membawa uang hanya Exie, tentu saja dia yang membayar semuanya. Tanpa harus diperintah, Exie membuntuti Sekar menuju warung dimana tadi ia pesan kopi.
"Eh berapa semua jadinya Ce?"
"Tadi tempe mendoanya ga dimakan ya? Berarti cuma kopi 3, jadi 9 ribu aja," jawab Sekar dengan senyum yang tak lelah dipasangnya dari beberapa jam yang lalu.
"Hah berapa?" Exie terkejut dengan harga yang jauh beda dari ekspetasinya.
"SEM BI LAN RIII BU," ulang Sekar memperjelas setiap kosakatanya.
"Iye gua denger itu mah. Kok murah bat si? 9 kopi disini harganya sama kek 1 green teanya Starbucks yang venti anjer," ucap Exie sambil merogoh sakunya untuk mencari uang receh, tetapi mata uang terkecil yang dia punya adalah selembar kertas rupiah berwarna biru.
"Ni ambil aja kembaliannya, sans ini duit punya nyokap bukan punya gua. Nyokap gua sultan kok, kaga butuh uang receh," lanjutnya tanpa memberi jeda untuk Sekar menolak pemberiannya.
***
Setelah selesai sholat maghrib berjamaah di masjid, Javier, Mostafa, dan Kakek bermain catur di teras rumah kakek yang beralaskan karpet biasa. Sedangkan Exie mengobrol dengan seorang wanita paruh baya yang ditugaskan oleh ibu Javier untuk merawat kakek, Aminah namanya.
"Kakek tu suka melamun kadang saya bingung juga kudu ngapain kalo gitu," keluh Aminah saat mengobrol dengan Exie.
Exie mengangguk paham, lalu memandang kakek yang sedang tertawa lepas karena tingkah konyol Javier dan Mostafa, Exie kembali menatap Aminah serta memberi saran agar lebih sering mengajak kakek berbicara, keluar rumah walaupun sekedar duduk di teras seperti saat ini, atau menonton acara lawakan televisi.
Karena bosan selalu memenangi pertandingan catur tadi, kakek mengajak Javier, Exie, dan Mostafa untuk bermain poker dengan syarat yang kalah harus bercerita pengalaman ternakal mereka. Setelah mendapatkan kekalahannya masing-masing yang menyebabkan mereka lelah tertawa, Aminah mengingatkan bahwa kakek seharusnya sudah tidur dari 1 jam lalu.
"Sugeng sare mbah (selamat tidur kek)" ucap Mostafa menerapkan bahasa Jawa yang sudah dipelajarinya selama perjalanan tadi.
"Yo nduk, kesuwun (iya cu, terimakasih)" balas kakek sembari berusaha berdiri.
Karena ini malam pertama tidur di tempat yang asing bagi Exie dan Mostafa, mereka belum bisa beradaptasi tidur dan lebih memilih tetap duduk di depan teras. Semakin bertambah malam, semakin rendah pula suhu di desa itu.
"Lu pada kedinginan kaga?" Tanya Exie sambil memeluk lututnya.
"Namanya juga kampung, ni pake punya gua biar kaga kembung lo." Mostafa memberikan hoodie tebal miliknya sambil menatap Exie teduh, membuat Javier memanglingkan wajahnya dari pemandangan yang membuatnya sakit mata.
***
See ya!
Jika suka tinggalkan jejak, jika tidak silahkan beranjak

KAMU SEDANG MEMBACA
Exie Giovanka
Novela JuvenilIni cerita tentang gua Exie Giovanka, jadi suka suka gua dong mau bikin deskripsi kek apa. Menurut gua, teenfiction sekarang tuh mulai kea ftv gitu. Garis besarnya gampang ditebak, 2 cowok most wanted rebutan 1 cewek yang biasa aja terus salah satu...