Jisoo menghempaskan tubuhnya ke atas kasurnya yang empuk. Seluruh tubuhnya terasa lemas setelah melakukan aktifitas sepanjang hari ini. Semua tenaganya terkuras akibat tampil ketika kompetisi tadi.
Mata Jisoo menatap kosong langit-langit kamarnya. Dia melamun. Hingga getaran dari ponselnya membuat perhatiannya teralihkan. Dengan malas Jisoo meraih ponselnya yang masih didalam tas. Namun, tidak lama setelah itu dia tersenyum ketika melihat nama yang tertera di layar ponsel tersebut.
"Wae?" Ucap Jisoo singkat sambil tersenyum lebar.
"Aish... jinjja!!" Diujung sana terdengar Lisa berdecak kesal. "Jangan pura-pura tidak tahu, Kim Jisoo!!"
Jika suasananya berbeda maka Jisoo akan berteriak marah kepada Lisa yang memanggilnya dengan nama saja. Tapi, kali ini Jisoo hanya terkekeh pelan mendengarnya. "Wae? Aku tidak tahu, eoh."
Lagi-lagi diujung telpon sana Lisa kembali berdecak kesal. "Eonnie kejam sekali... padahal aku sudah merasa cukup dengan semuanya, tapi... tapi, eonnie membuatku kembali bermimpi disaat-saat seperti ini... eonnie memang kejam!!"
Jisoo hanya diam, sambil memejamkam matanya. Membiarkan Lisa mengeluarkan apa yang dia rasakan saat ini.
"Eonnie tega sekali memperlihatkan penampilan itu kepada seorang dancer yang tidak bisa berdiri lagi..." Dapat Jisoo pastikan jika Lisa pasti sedang menangis sekarang, terbukti dari suaranya yang terdengar bergetar.
"Eoh... aku memang kejam." Ucap Jisoo setelah terdiam beberapa saat. "Maka dari itu, Lisa-ya... ayo, tampil satu kali lagi bersama kami. Kau bukan tuan putri yang manja. Kau adalah Lalisa Park solo dancer yang jenius. Bangkitlah! Hajar penyakitmu itu! Kita akan tampil bersama-sama lagi!"
Ditempatnya menelpon saat ini, Lisa tersenyum. Air matanya terus berjatuhan. Tangan kurus pucatnya menggenggam erat ponselnya.
"Jisoo-eonnie memang kejam..." Lisa tertawa pelan disela-sela tangisnya.
Tangannya yang bebas kini bergerak untuk menyeka air mata yang telah membasahi pipinya. Setelah mengatakan satu-dua hal, Lisa menutup panggilannya dan meletakkan kembali ponselnya.
"Lisa-ya..."
Kepala Lisa menoleh ke arah pintu. Disana telah berdiri ayah dan ibunya. Seperti biasa wajah mereka terlihat teduh, meski ada raut kesedihan yang selalu menggantung di sana. Lisa tersenyum.
"Kajja, kita ke ruangan dokter Song." Ajak ayahnya berjalan mendekat, diikuti oleh ibunya dari belakang.
Lisa mengangguk. Setelah itu dia beranjak untuk berpindah ke atas kursi roda. "Gwenchana, aku bisa sendiri." Lisa menahan tangan ayahnya yang hendak membantunya untuk duduk di atas kursi roda.
Kedua kakinya masih bisa digerakkan, meski tidak sekuat orang sehat biasanya. Dengan susah payah Lisa turun dari atas kasur pasien, kakinya gemetar dengan hebat. Sebelum kakinya kehabisan tenaga, Lisa langsung mendudukkan dirinya di atas kuris roda. Lisa menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya, dia tersenyum miris. Padahal hanya bergerak sedikit saja, keringatnya hampir sama dengan orang yang sedang melakukan lari jarak pendek.
"Kajja." Lisa tersenyum menoleh ke arah kedua orang tuanya.
Ayah dan ibunya tersenyum tipis, lalu mengangguk. Sebisa mungkin mereka menahan air matanya agar tidak keluar ketika melihat Lisa yang susah payah turun dari kasurnya hanya untuk duduk di atas kursi roda.
***
"Seperti yang sudah aku jelaskan sebelumnya," nada suara dokter Song terdengar serius. "Kondisinya akan sangat berbahaya. Tidak hanya itu, tapi... meski nanti berjalan lancar—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Liar ✔
FanfictionMenurut Lalisa, berbohong merupakan satu-satunya cara untuk membuat orang yang ada disekitarnya tetap tersenyum. Tidak mengapa saat dia 'pergi' nanti akan dicap sebagai 'pembohong'. Karena... dia memiliki alasan tertentu.