Chapter 22

5.2K 586 40
                                    

Sinar temaram rembulan mencoba menembus dibalik awan-awan hitam. Langit terlihat berawan yang menyembunyikan ribuan bintang yang selalu menemani bulan ketika malam datang. Udara semakin dingin menusuk tulang. Kapanpun hujan bisa turun pada malam itu.

Kedua mata Jisoo langsung melebar mendengar ucapan Lisa yang terdengar tidak masuk akal.

"Eh?..." dahi Jisoo berkerut bingung.

Di kasur pasien Lisa terlihat menatap Jisoo dengan tatapan sendu dan kosongnya, kemudian menoleh ke arah lain untuk beberapa saat.

"Aniya, lupakan... aku tidak bersungguh-sungguh mengatakannya." Lisa kembali menatap Jisoo dan tersenyum tipis kepadanya.

Dapat Jisoo rasakan kedua matanya yang terasa pedas melihat tingkah aneh Lisa saat ini. Ada sesuatu yang mengganjal pada diri Lisa dan itu berhasil membuat air mata Jisoo terpancing, entah kenapa dia merasa sedih begitu saja. Jisoo mengatupkan rahangnya, mencoba menahan air matanya agar tidak terlihat oleh Lisa.

"Sebenarnya..." Lisa kembali berucap, mengalihkan pandangannya ke jendela. Tangan putih pucatnya mencengkram erat seprai putih kasur pasiennya.

Menurutnya saat ini waktu yang tepat untuk memberitahukannya kepada Jisoo. Lisa yakin Jisoo bisa bersikap lebih dewasa dibandingkan Jennie maupun Rose. Mau tidak mau Lisa telah menyiapkan dirinya jika saja dia dibenci oleh Jisoo.

"Sebenarnya aku tidak baik-baik saja."

Deg!

Tubuh Jisoo seketika kaku mendengar pengakuan Lisa yang tiba-tiba. Untuk beberapa saat Jisoo masih terdiam. Namun, di detik berikutnya seperti ada sesuatu yang menghujam hati Jisoo dengan kuat. Meninggalkan rasa nyeri yang teramat pedih.

'Andwe!!! Kau bohong, kan?!! Ini tidak benar, kan?!! Kau hanya bercanda, kan... Lalisa?'

"Mianhae... aku membohongi kalian. Selama ini aku terus berbohong mengenai kondisiku yang menyedihkan ini..." Senyuman tipis Lisa masih setia terlukis diwajahnya.

"Aku kejam sekali, bukan? Berbohong kepada kalian hanya untuk mementingkan egoku sendiri. Aku terpaksa membohongi kalian karena aku takut... Aku takut melihat senyuman kalian menghilang jika mengetahui kondisiku yang sebenarnya. Ketakutanku itu melebihi rasa takutku akan kematianku sendiri, eonnie..." Suara Lisa mulai terdengar bergetar. Matanya terlihat berkaca-kaca.

"Aku tidak sanggup eonnie... melihat air mata kalian jatuh begitu saja hanya untuk menangisiku. Sungguh... aku tidak sanggup... lebih baik aku mati saja daripada melihat kalian yang terus bersedih karena aku yang lemah ini." Lisa tersenyum miris, menundukkan pandangannya.

Jisoo masih terdiam. Air matanya semakin ingin mendesak keluar, tapi dengan sekuat tenaga dia mencoba untuk tetap menahannya.

"Lebih baik kita tidak perlu bertemu lagi, eoh."

Mata Lisa yang berkaca-kaca kembali menatap Jisoo. Hening sesaat, hingga akhirnya suara Jisoo keluar setelah terdiam sejak tadi.

"Kau... bohong, kan?... Ini hanya gurauanmu saja, kan?... Kau tidak serius, kan?" Lirih Jisoo menggelengkan kepalanya. Lisa hanya tersenyum tipis.

"JAWAB AKU, LALISA!!!"

Emosi Jisoo mulai tidak terkendali. Wajahnya merah padam, matanya menatap Lisa dengan tajam. Berharap semua yang dikatakan oleh Lisa tadi hanyalah bualan semata, bukan yang sebenarnya. Jisoo merutuki dirinya sendiri. Dia berharap tidak pernah mendengar pembicaraan antara dokter Song dan Tuan Park tadi. Itu hanya membuatnya semakin percaya jika Lisa memang benar tidak baik-baik saja.

"Mwoya... apa perlu aku panggilkan suster untuk membawakan berkas-berkas milikku? Atau dokter yang menanganiku selama ini?"

Jisoo membuang napasnya dengan kasar. Mau tidak mau dia harus menerimanya, walau itu menyakitkan.

Liar ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang