"Apa kau yakin meletakkannya di sini?"
Suara berat seorang pria berhasil membuyarkan lamunan seorang remaja perempuan yang tengah duduk diatas sofa berwarna abu-abu. Pria itu baru saja kembali membawa secangkir teh, lalu diletakkannya diatas meja. Tepat dihadapan remaja perempuan tersebut.
Remaja perempuan itu menoleh, menatap lawan bicarannya dengan tatapan bingung. Seakan mengerti pria yang berada di depannya menunjuk ke arah lemari kaca yang ada di sudut ruangannya.
Remaja perempuan itu segera menolehkan kepalanya. Setelah melihat benda yang ada di lemari kaca tersebut, dia langsung mengangguk paham.
"Eoh..." Dia mengangguk, kembali menatap pria yang duduk dihadapannya tersebut. "Kami tidak tahu akan diletakkan dimana, jadi aku memutuskan untuk meletakkannya di sini karena selama ini Anda yang melatih kami Tuan Park, hingga kami menjadi seperti ini."
Dia tersenyum menatap pria yang ternyata adalah Tuan Park, orang yang telah melatih mereka selama kompetisi.
Tuan Park menatapnya lama. "Jinjja? Apa kau yakin?"
"Eoh. Mungkin Jennie dan Chaeyoung juga setuju tentang hal ini." Remaja perempuan itu mengangguk dengan yakin. Lalu mengambil secangkir teh yang ada dihadapannya untuk diminum.
"Arasseo." Tuan Park mengangguk setelahnya. "Bicara tentang Jennie dan Chaeyoung, sekarang mereka berdua dimana? Selama ini hanya kau saja yang datang mengunjungi akademi dance milikku."
Remaja perempuan itu terbatuk, lalu kembali meletakkan cangkir tersebut diatas meja. Dia terdiam untuk beberapa saat, lalu tersenyum simpul. "Mereka pindah ke luar negeri."
"Nde?! Jinjja?!" Seru Tuan Park tidak percaya.
"Awalnya aku juga kaget, mereka pindah begitu saja. Satu hari setelah kompetisi Jennie langsung pindah ke Selandia Baru, itupun aku tahu dari teman sekelasnya. Tidak ada yang tahu alasan Jennie pindah." Remaja perempuan itu menjeda ucapannya sejenak.
"Seminggu setelah Jennie pindah, Chaeyoung juga ikut menyusul. Dia pindah di Australia, negara tetangga tempat tinggal Jennie sekarang. Aku juga mengetahui itu dari teman sekelasnya. Mereka bilang jika Chaeyoung pindah karena ikut ayahnya yang bekerja ke sana."
"Aigoo..." Tuan Park mengusap wajahnya. "Lalu, apa kalian masih berhubungan sampai sekarang?"
Remaja perempuan yang duduk di atas sofa tersebut tersenyum kecut, menundukkan kepalanya, lalu menggeleng.
"Mereka mengganti nomor telponnya."
Seketika suasana menjadi canggung. Raut wajah remaja perempuan itu terlihat sedikit muram. Tuan Park hanya diam, menghela napasnya tertahan. Seakan ingat dengan sesuatu, remaja perempuan itu segera menolehkan kepalanya untuk melihat jam yang tergantung di dinding ruangan Tuan Park tersebut. Waktu menunjukkan pukul lima sore.
"Mianhae, Tuan Park... aku harus segera pergi." Ucapnya sambil beranjak berdiri.
"Eodiga?" Tanya Tuan Park yang ikut berdiri.
"Aku ingin mengunjunginya." Jawabnya sambil tersenyum.
Untuk beberapa saat Tuan Park masih belum paham maksudnya, hingga beberapa detik kemudian dia tersentak sadar, lalu mengangguk.
"Ah! Nde, arasseo... hati-hati di jalan, titipkan salamku kepadanya."
Remaja perempuan itu mengangguk sambil melangkahkan kakinya keluar ruangan, diikuti oleh Tuan Park yang mengantarkannya ke luar.
"Aku pamit dulu, Tuan Park." Dia membungkuk kepada Tuan Park.
"Eoh... hati-hati, Jisoo-ssi."
Jisoo kembali berdiri tegak, tersenyum kepada Tuan Park. Setelah itu dia beranjak pergi meninggalkan gedung akademi dance milik Tuan Park yang semakin besar dan terkenal tersebut. Itu semua karena mereka berhasil memenangkan kompetisi tersebut, serta berhasil menjadi nomor satu diantara banyaknya peserta yang ikut kala itu.
Dengan rasa haru dan senang yang bercampur satu, mereka bertiga menatap tidak percaya piala besar yang mereka terima saat upacara penghargaan, itulah benda yang dilihat oleh Jisoo di lemari kaca milik Tuan Park.
Tangis bahagia mereka pecah, tapi kebahagiaan mereka hanya bertahan sebentar karena beberapa jam kemudian datang kabar buruk yang berhasil membuat mereka terpuruk dalam kesedihan untuk waktu yang lama.
Jisoo menggeleng, dia tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan. Dia sudah bertekad untuk tidak menangis lagi dan tidak terlihat lemah di depan semua orang yang dikenalinya.
Setelah menatap gedung yang penuh dengan kenangan itu sekali lagi, Jisoo kembali melangkahkan kakinya menuju ke tempat yang selalu dia kunjungi akhir-akhir ini.
***
Jisoo menggenggam erat satu bucket bunga lily putih, sambil terus melangkah. Cahaya jingga matahari menerpa wajahnya yang mulai terlihat cantik. Anak rambutnya bergerak-gerak akibat tiupan angin musim semi.
Sudah lebih dari empat bulan semenjak kompetisi itu berakhir. Dalam waktu yang singkat itu, Jisoo terlihat semakin dewasa menghadapi semua masalahnya.
Dari kejauhan terlihat pohon-pohon mulai berbunga. Jisoo tersenyum tipis ketika melihat pohon sakura yang bunganya sedang bermekaran dengan indahnya, tidak jauh dari lokasinya saat ini. Kaki Jisoo berhenti sejenak untuk menatap pohon tersebut.
"Kalau tidak salah, ketika itu kita bertemu saat musim semi hampir berakhir. Dan sekarang sudah musim semi lagi..." Gumam Jisoo pelan.
Tempat yang ingin dikunjungi Jisoo tidak jauh lagi dari pohon sakura tersebut. Tinggal beberapa langkah lagi Jisoo sudah sampai di tempat tersebut.
Senyuman Jisoo semakin mengembang ketika telah sampai di sana. Dia berjalan mendekat.
"Nyeongan, Lisa-ya." Sapa Jisoo dengan lembut. Senyumannya tidak pernah pudar.
Setelah itu Jisoo berjongkok, meletakkan bucket bunga lily putih itu tepat di depan batu nisan yang berpendar akibat cahaya matahari sore. Seperti biasa Jisoo membersihkan makam tersebut dari rumput liar dan daun-daun kering. Terakhir dia mengusap pelan batu nisan tersebut yang berukirkan nama : Lalisa Park.
"Aku tidak tahu apa yang ingin kukatakan padamu kali ini." Jisoo terkekeh pelan, tangannya mencengkram batu nisan tersebut.
Hening sesaat. Perlahan-lahan kepala Jisoo menunduk, menatap tanah yang ada dihadapannya. Sekuat tenaga Jisoo mencoba untuk tidak menangis. Setelah merasa tenang kembali, dia kembali menatap batu nisan milik Lisa.
"Lisa-ya... apa kau percaya dengan hal yang mengatakan jika di dunia ini kita memiliki setidaknya tujuh kembaran dengan wajah yang sama?" Jisoo terdiam sejenak, menghela napasnya perlahan. "Entahlah... mungkin aku terlalu banyak menonton drama dan film fantasi yang membuatku mudah mempercayainya. Tapi, aku juga memiliki hal lain yang membuatku percaya dengan hal seperti itu. Karena aku..."
"Karena aku ingin bertemu dengan dirimu yang lainnya."
THE END
Nyeongan~
Yg gk terima Lisa meninggal jangan marah, plisseu✌
Karena aku mau... rahasia, ehe🌚
So, gimana? Nge feel gak?
Akhirnya cerita ini tamat juga, maapkeun jika selama ini aku ada salah karena aku masih baru alias amatir, ehe :p
Dan ini semua juga berkat kalian... makasih udah selalu setia membaca ceritaku, selalu kasih support ke aku, selalu ngevoment cerita aku, dan semua tindakan kalian yang sangat berarti untukku. Thank you so so so much, every one😙😍💙
I love you more than 3000 times💙
See you next ______ soon
Bye-bye👋
(Baby F)

KAMU SEDANG MEMBACA
Liar ✔
FanfictionMenurut Lalisa, berbohong merupakan satu-satunya cara untuk membuat orang yang ada disekitarnya tetap tersenyum. Tidak mengapa saat dia 'pergi' nanti akan dicap sebagai 'pembohong'. Karena... dia memiliki alasan tertentu.