Hallo, selamat tahun baru 2020, ya. Ini ceritaku berikutnya di Wattpad. Aku harap kalian menyukainya. Kalau ada kesalahan dalam penulisan, tolong kasih tahu, ya. Selamat menikmati. Hatur nuhun.
Kring... kring... kring....
"Oh, shit," Lea mengumpat. Tangan perempuan itu terulur mengambil jam weker di meja nakas di samping ranjangnya. Jari-jari putih itu mencari tombol menonjol di tengah bagian atas jam hitam itu. Ia menekannya dengan kencang sebelum mengembalikan ke meja dengan sembarangan.
Sudah dua minggu tidurnya diganggu oleh benda sialan itu. Pemiliknya masih menyukai benda kuno itu. Jam weker yang dulu dimilikinya saat SD.
Ia duduk di ranjangnya. Ia mengambil botol air mineral yang dibelinya dan menengguknya hingga setengah. Matanya memperhatikan sosok di sampingnya yang bergerak dalam tidurnya. Tidak lama karena tubuh laki-laki itu juga duduk seperti Lea. Laki-laki itu menoleh dan memberikan kecupan singkat di bibir Lea. Demi Tuhan, bahkan ia belum menggosok gigi dan laki-laki itu tampaknya tidak peduli sama sekali.
"Morning, Baby. Don't said the bad word, Lea. Ini masih terlalu pagi untuk mengumpat."
"Yeah, but your alarm disturbed me. Ini masih jam 4 pagi."
Akbar, laki-laki itu justru tertawa. Ia mengacak rambut Lea. Setelahnya, ia beranjak. Di depan pintu kamar, ia menoleh ke arah istrinya. "Aku mau subuhan. Join?"
"No. Aku lagi M, males," jawabnya singkat.
Laki-laki itu tersenyum sebelum meninggalkan istrinya menuju kamar mandi. Ia meninggalkan Lea sendiri yang masih termenung di kamar besar ini. Lea masih terdiam dalam posisinya tadi.
Ranjang king size dengan sprei bermotif brown coffee. Jam weker sialan yang berada di meja samping nakasnya. Closet yang tak hanya berisi segudang pakaiannya tapi juga pakaian laki-laki yang selama ini tidur di sampingnya. Semua itu yang kini ada di kamar pribadinya.
"Oh, I'm a wife now."
Kalimat itu seperti ritual yang harus diucapkan Lea setiap bangun tidur. Ini sudah dua minggu setelah pernikahannya tapi ia masih belum percaya jika ia telah memiliki suami. Ya, Lea telah menikah.
Sebelumnya di dalam hati pun, Lea tidak pernah bermimpi menikah. Tidak ada satu gambaran sepanjang 30 tahun hidupnya untuk menggunakan kebaya putih dan gaun pengantin. Tidak juga untuk berdiri di pelaminan, bersalaman dengan tamu-tamu, hingga sebuah cincin melingkar di jari manisnya.
Cincin pernikahannya. Ia harus tertawa setiap kali mengingat laki-laki itu. Cincin emas putih yang dipilih Lea ketika Akbar mengajaknya ke Frank & Co. Akbar bahkan tidak berpikir ulang ketika jari putih Lea menunjuk cincin ini dari kaca etalase.
Bagi Lea, pernikahan adalah komitmen terburuk setelah pacaran. Semuanya adalah hal yang paling ia hindari. Lea tidak akan pernah menikah sepanjang hidupnya. Ia akan membiarkan dirinya sendiri hingga akhir hayatnya. Tidak sampai akhirnya Akbar memusnahkan pikiran liarnya tentang pernikahan beberapa bulan lalu. Oh, sepertinya sejak tiga tahun lalu. Waktu di mana seharusnya Lea tidak bertemu dengan laki-laki baik itu.
Lea menghabiskan malam minggu di tanggal mudanya dengan mengunjungi sebuah klub malam. Rutinitas bulanannya. Gajinya tidak cukup bila harus mengganti jadwal bulanannya ke mingguan. Ia masih memiliki banyak kebutuhan yang harus dibelinya.
Farel masih asyik menari di lantai dansa. Laki-laki yang berteman dengan Lea sejak ia bekerja di perusahaan farmasi itu masih menikmati irama musik. Sementara Lea justru duduk di depan meja bartender. Ia menoleh dan melihat goyangan tubuh Farel. Gerakan tubuhnya masih seirama dengan musik. Farel masih memegang kesadaran atas tubuhnya. Ia memegang janjinya malam ini pada Lea. Farel tidak boleh mabuk karena akan sangat merepotkan Lea.
Lea meminun beer. Hanya itu minuman itu, wine, dan minuman lain dengan kadar alkohol di bawah 15% yang bisa diterima tubuhnya. Karena sejujurnya, Lea tidak terlalu kuat minum. Perempuan itu mudah mabuk. Tapi, ia butuh minum untuk menghilangkan kepenatan masalahnya. Tentang mama yang selalu merengek memintanya menikah. Juga tentang papa yang sibuk menjodohkannya dengan anak koleganya. Itu membuat Lea jengah.
Sambil duduk, badan Lea ikut bergerak ke kanan dan kiri mengikuti alunan musik yang dimainkan DJ. Ia sangat menyukai momen ini. Seperti masalah-masalah yang menjauh dari hidupnya.
Lea menoleh. Ia menghela napasnya kesal ketika melihat Farel sudah bergoyang tidak karuan. Laki-laki itu menipunya. Farel mabuk berat. Seharusnya Lea tahu jika Farel tidak akan pernah berhenti sebelum mabuk. Bagi laki-laki itu, datang sadar dan pulang teler. Itu baru afdol.
Kesusahan Lea yang membawa Farel ke mobil laki-laki itu menarik perhatian Akbar. Laki-laki itu menolongnya membawa teman brengseknya ke apartemen laki-laki mabuk itu di kawasan Slipi.
Dari sanalah, ia mengenal Akbar.
Terkadang Lea sering merasa aneh sendiri dengan Akbar. Selama tiga tahun mengenal laki-laki itu, Akbar tidak pernah bersikap aneh. Konteks aneh dengan pedoman Farel tentu saja. Tipe laki-laki yang suka ke klub, merokok aktif parah yang bisa menghabiskan lebih dari dua bungkus sehari, penyuka sex before married-tentu saja menu favoritnya one night stand. Akbar juga bukan tipe laki-laki super religius yang selalu rutin mengunjungi masjid-masjid yang ada kajian agama. Ia tidak menolak bersalaman dengan perempuan. Tapi Lea tahu jika Akbar tidak pernah meninggalkan ritual sehari lima kalinya.
Sedangkan Lea? Ia saja lupa kapan terakhir kali menggelar sajadah. Oh, ia ingat. Itu ketika semester awal kuliah. Ketika ia menginap di rumah temannya. Ayah temannya ustad dan bertanya mengapa ia belum juga salat. Setelahnya, Lea hanya salat setahun dua kali, lebaran besar dan lebaran haji.
Menikah dengan Akbar tidak membuatnya lebih baik dalam hal agama. Lea hanya merasa lebih tenang karena tidak lagi didesak menikah oleh kedua orangtuanya. Lea tidak perlu merasa malas lagi saat ibunya bertanya mengenai waktu ia akan menikah. Ia juga tidak perlu repot-repot menyusun strategi menolak tawaran dinner ayahnya. Itu sebenarnya hanya alibi untuk memperkenalkan Lea dengan anak kolega ayahnya.
Ketika pertama kali Akbar dan Lea mengunjungi papanya yang bertugas di Turki, Lea tahu jika mata papanya tidak pernah lepas menatap Akbar. Laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu mencoba menebak tipe apa laki-laki yang percaya diri melamar puterinya.
"How did you meet him?" pertanyaan pertama papanya yang ditunjukkan pada Lea.
"Well, I was going to apartment and he helped me." Lea sedikit berbohong. Ia tidak mungkin menceritakan kegiatannya di klub, kan?
Mata papanya memincing. Ia menuntut penjelasan lebih dari puteri semata wayangnya.
"Just a little accident, Papa. Don't worry."
Hanya itu. Papa dan mamanya tidak lagi banyak bertanya mengenai Akbar. Mereka dapat melihat sendiri bagaimana sopannya Akbar pada keduanya. Lebih dari itu, dua hal yang membuat mereka bisa melepas Lea pada Akbar; keluarga dan pekerjaan laki-laki itu.
Lea menguap. Matanya masih berat untuk dibuka. Ia kembali membaringkan tubuhnya di ranjang empuknya. Biarlah Akbar pergi tanpa ia mengantarnya. Laki-laki itu akan kembali setelah menunaikan salat subuhnya di masjid dekat rumah mereka.
"You're mine, now."
Samar-samar, Lea mendengar suara berbisik di dekatnya.
***
Episode berikutnya:
"Gue dan Akbar nunda punya anak?" Lea yang melihat tatapan menyelidik Anna langsung menjelaskan. "Gue belum siap berurusan sama anak kecil."
"Lu KB apa? Spiral atau pil? Sayang, Lea. Nanti rahim lu kering."
Lea menggeleng. "KB alami. Akbar buang di luar."
"Keburu gitu?"
"Tentu saja. Buang di dalam, gue bakal minta cerai ke dia."
"Dasar gila."
Jakarta, 02 Januari 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Rasa Menyambut (Selesai)
General FictionAkbar mencintai istrinya, Lea. Sejak kali pertama bertemu, ia sudah menambatkan hati pada sosok cantik itu. Meski akhirnya berhasil menjadikan Lea istrinya setelah percobaan lamaran yang berkali-kali, ia tidak juga membuat perempuan itu jatuh cinta...