Jangan lupa berikan komentar, ya.... Hatur nuhun.
Tepat saat Lea menutup teleponnya dengan Akbar, suara lengkingan terdengar. Lea tidak tahu mengapa sejak Akbar pergi, Marsha lebih sering menangis. Bayi berusia satu tahun itu seperti gemar berteriak dan mengeluarkan air matanya. Setiap saat tanpa memandang orang-orang di sekelilingnya. Marsha menjerit saat Lea masih memejamkan mata di pagi hari. Ketika kembali dari rutinitas kerjanya, Marsha menjerit. Gadis kecil itu seperti memiliki naluri untuk mengganggu waktunya.
Lea ingin tidak acuh. Ia memiliki banyak hal lain untuk dilakukan. Belanja online salah satunya. Nyatanya, kepala Lea justru dipenuhi dengan suara tangisan Marsha dari pada melihat koleksi sheet mask asal Korea Selatan itu.
"Lama-lama kepalaku pecah," kata Lea dengan sedikit kesal.
Ada Bu Siti yang terus menimang dan membujuk Marsha agar diam. Lea yang tadinya akan berteriak langsung terdiam. Pemandangan itu membawanya ke masa kecilnya yang kurang menyenangkan. Bu Siti yang membujuknya untuk berhenti menangis.
Ketika peringatan hari ibu di sekolahnya, ada acara khusus. Anak-anak akan memberikan penampilan mereka. Acara akan ditutup dengan memberikan setangkai mawar merah pada ibu. Dan, Lea tidak memiliki kesempatan itu. Mamanya sibuk menemani ayahnya di entah negara mana. Ia menangis. Tangisannya baru berhenti ketika Bu Siti berjanji akan ikut Lea ke sekolah dan menerima mawar pemberiannya.
"Non Lea," suara pelan Bu Siti menghentikan pikirannya.
Melihat wajah lelah Bu Siti membuat rasa kesal Lea menguap entah ke mana. Lea paham itu. Bu Siti akan selalu memberikan hal terbaik bagi anak perempuan itu. Lea merasa iba dengan perempuan paruh baya itu.
"Non Lea keganggu, ya? Marsha mau tumbuh gigi jadi rewel gini."
Lea bahkan lupa dengan fase pertumbuhan bayi. Ia lupa dengan cerita Anna tentang anaknya yang demam karena giginya tumbuh. Maka, ia mengatakan, "Udah dibawa ke dokter, Bu?"
Bu Siti mengangguk. "Sudah minum obat demam, Non. Mungkin, Marsha masih merasa enggak enak jadi nangis terus."
"Aku buatin teh hangat buat Bu Siti, ya?" tawar Lea.
Bu Siti tersenyum. Lea, anak perempuan yang dirawatnya sejak kecil tidak pernah memandangkan sebagai pengasuh dan pembantu. Lea memperlakukannya jauh lebih baik dari itu semua. Bahkan, seringkali, Bu Siti merasa jika perhatikan Lea terlalu berlebihan.
Lea menghampiri pantry. Ketika melewati Aidan, Lea melihat anak itu tengah mengerjakan soal matematika. Aidan duduk di lantai dengan menjulurkan kakinya. Jari telunjuknya memegang jari-jari kakinya sambil menyebutkan angka-angka.
7+8= ....
Tulisan itu muncul di buku tulisa milik Aidan. Hasilnya lima belas. Itu melebihi sepuluh jari tangan Aidan. Pantas saja Aidan bingung. Mata Lea memandang ke arah Bu Siti yang terus menimang Marsha. Tidak mungkin meminta tolong Bu Siti mengajari Aidan. Tidak mungkin juga membiarkan anak laki-laki menjawab salah soal yang baginya mudah itu.
"Aidan, tunggu Tante Lea buat teh untuk Bu Siti dulu, ya. Habis itu, Tante Lea akan menemani Aidan belajar."
Bukan hanya Aidan yang menoleh tapi juga Bu Siti. Perempuan itu memandang Lea dengan tatapan tidak percaya. Oh, hatinya bersorak gembira melihat inisiatif Lea. Ya Tuhan, semoga doa yang setiap hari dipanjatkan akhirnya terkabul.
"Iya, Tante."
"Non Lea." Panggilan Bu Siti membuat langkah Lea terhenti. "'Makasih."
Lea hanya membalas dengan senyuman.
***
"Coba Aidan ikuti tante," kata Lea. Ini sudah hari ketiga ia menemani Aidan belajar. Sebenarnya, Lea ingin mengerjakan laporan keuangan perusahaan malam ini. Tapi, membiarkan Aidan belajar bahasa Inggris bersama Bu Siti juga bukan hal bagus. Dalam pelajaran bahasa Inggris, Bu Siti hanya tahu yes dan no saja. "My name is Aidan."
"My name is Aidan."
Lea hampir saja terkikik mendengar ucapan Aidan. Tidak, tidak ada yang salah dengan pronunciation Aidan. Anak laki-laki itu mengucapkan dengan lafal yang cukup baik. Lea hanya merasa janggal dengan kalimat lengkap itu. Dirinya tidak pernah mengucapkan kalimat panjang itu kalau memperkenalkan dirinya. Hanya I'm Lea.
"I live in Kemang. My Adress on Kemang Street."
Aidan mengucapkan itu mengikuti Lea. Hatinya senang bukan main saat kemarin tante cantik kesayangannya mau mengajarinya belajar. Aidan senang belajar bersama Lea. Selain cantik, suara Lea juga enak didengar bagi Aidan.
"My hobby is playing football with Kenzi."
Ah, Aidan rupanya sudah memiliki sohib di sekolah. Kenzi yang pertama kali ia temui kini berubah menjadi teman akrab Aidan. Mereka sering menghabiskan waktu bersama. Tentu saja pelajaran favoritnya adalah bermain sepak bola di lapangan saat olahraga.
"And, my favourite football player is Christiano Ronaldo."
Suara dering ponsel menghentikan ucapan Aidan. Lea melihat nama Akbar tertera di layar ponselnya. Sebuah video call dari suaminya. Lea segera menekan tombol hijau.
"Assalamualaikum, Sayang," sapa Akbar.
"Walaikum salam, Om Akbar," suara Aidan yang menjawab.
"Oh, ada Aidan."
"Om, Aa lagi belajar sama Tante Lea."
Akbar tersenyum. Hatinya berdesir mendengar fakta itu. Ia tahu sebelumnya dari Bu Siti. Setiap pagi ketika Lea kerja, Bu Siti selalu melaporkan perkembangan Lea pada majikannya. Iya, perkembangan Lea dalam menerima Marsha dan Aidan. Akbar dan Bu Siti memiliki keinginan yang sama. Mereka akan berjuang membuat Lea menyayangi kedua keponakan Akbar.
Laki-laki tahu jika Lea bukan orang yang egois. Perempuan itu hanya trauma dengan masa kecilnya. Hati kecil Lea masih memiliki kepedulian pada dua anak kecil di rumahnya. Lea hanya sedang membentengi dirinya. Tugas Akbar dan Bu Sitilah untuk menghancurkan tembok itu.
"Habis ini, jangan lupa sikat gigi, ya dan berdoa sebelum tidur."
"Siap, Kapten," kata Aidan. Anak laki-laki itu langsung berlari menuju kamarnya di lantai dua dengan ditemani Bu Siti.
Ketika Aidan menghilang, Lea memperhatikan wajah Akbar. Oh, sepertinya ia sedang dilanda penyakit rindu pada suaminya. Melihat setiap garis wajah Akbar membuat Lea ingin segera memeluk laki-laki itu.
Tapi, sebagai gantinya, Lea hanya menanyakan, "Titipan aku udah dibeli?"
"Udah."
Lea tersenyum manis sekali. Akbar pikir itu hanya bayaran atas oleh-oleh super banyak yang diminta istrinya. Akbar sampai harus membeli koper baru untuk menaruh titipan istrinya. Aneh. Sebelumnya tidak mau dibelikan oleh-oleh karena Malaysia dekat. Kemarin, Lea justru memberikan daftar oleh-oleh yang begitu banyak.
"Lusa, sampai jam berapa?"
"Tujuh pagi."
"Aku jemput, ya, Bar?" pinta Lea. Ia tidak sabar untuk melihat dan memeluk suaminya.
Akbar mengangguk. Lusa Minggu. Lea libur di setiap Minggu. Oke, ini rencana yang tiba-tiba muncul dalam kepalanya. Ia pastikan akan menitip Aidan dan Marsha ke Bu Siti. Ia akan membawa Lea ke hotel. Tempat mewah untuk melepaskan rindu sepertinya bukan hal berlebihan.
"Lea," kata Akbar.
"Apa?"
"Besok, jangan lupa beli kondom."
Sialan Akbar.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/209969874-288-k836055.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Rasa Menyambut (Selesai)
Ficción GeneralAkbar mencintai istrinya, Lea. Sejak kali pertama bertemu, ia sudah menambatkan hati pada sosok cantik itu. Meski akhirnya berhasil menjadikan Lea istrinya setelah percobaan lamaran yang berkali-kali, ia tidak juga membuat perempuan itu jatuh cinta...