Tenggelam dalam Memori

7.2K 922 20
                                    



Halo... halo... halo, back to my story. Hanur nuhun buat bintang dan komen yang diberikan (meskipun masih sedikit, sih, hehehe). Sebenarnya di kepalaku udah muncul ide cerita baru. Tapi, aku bakal berusaha untuk menamatkan setiap cerita yang aku publish. Aku suka baca cerita di Wattpad. Aku tahu, rasanya enggak enak kalau kita sudah terlanjut menikmati cerita, eh, menggantung begitu aja. Rasanya gimana gitu. Aku enggak bermaksud men-judge penulis lain, ya. Jadi, insya Allah, aku akan berusaha konsisten untuk menamatkan cerita (tolong doakan agar tetap istiqamah, ya)

And, the last, don't forget to give votes and comments. Itu biar aku tetap semangat menulis, ya. 



Lea duduk di teras belakang dengan sebuah laptop di hadapannya. Akhir bulan yang selalu membuatnya sibuk. Di hari libur seperti ini, Lea masih harus mengurusi laporan keuangan perusahaan. Ia harus meminta uang lemburan yang banyak pada bosnya karena sudah mengganggu istirahatnya.

Beberapa hari ini, Lea mencoba pulang tidak terlalu malam. Entahlah. Ia terkadang bingung dengan kondisi perasaannya untuk menerima Aidan dan Marsha. Ia masih belum terlalu menikmati kebersamaannya bersama mereka. Maksudnya, Lea masih agak canggung untuk mengobrol banyak dengan Aidan. Tidak seluwes Akbar. Lea juga masih belum berani menggendong Marsha bila masih ada Bu Siti. Terkadang, ia suka mencolek pipi gempal bayi itu. Ia tidak bisa menahan senyumnya melihat tingkah laku Marsha yang semakin lama semakin menggemaskan.

Hanya sebatas itu yang bisa Lea lakukan.

Urusan kedua anak itu sepenuhnya masih di bawah kendali Akbar dan Bu Siti. Lea hanya bagian menyimak. Sama halnya dengan pagi ini. Marsha sudah terbangun di pagi buta. Anak itu mengajak siapapun untuk bermain dengannya. Sejujurnya Lea ingin ikut bergabung dengan Marsha dan Bu Siti berkeliling kompleks. Tapi, ia tidak kuasa melihat wajah marah bos perempuannya yang saat ini masih belum menikah juga.

"Tente Lea, berenang, yuk?"

Suara Aidan membuat Lea menoleh. Ia melihat anak laki-laki itu sudah menggunakan celana pendek dan membiarkan tubuh bagian atasnya tidak tertutup kain. Itu tertular Akbar.

"Nanti, ya. Tante Lea masih sibuk, nih."

"Yah, padahal Aa mau berenang."

Lea menoleh. Melihat wajah memelas Aidan seperti membuatnya tersihir. Lea ingin berenang juga. Sepertinya mengasyikkan bermain air di pagi hari bersama bocah laki-laki itu. Tapi, sebuah pesan di ponsel yang diletakkan Lea di samping laptop mengalihkan pikiran Lea sejenak dari Aidan.

Laporan bulan ini jangan lupa. Besok pagi, saya tunggu di meja saya!

Perawan tua sialan. Lea mengumpat dalam hati. Ia masih waras dengan melihat Aidan berdiri di sampingnya. Anak itu tidak boleh meniru apa yang Lea ucapkan. Bos yang membuat Lea mendumal setengah mati. Lea cukup profesional dengan menyelesaikan tugasnya tepat waktu. Tidak perlu diingatkan Lea juga paham. Lagipula, semalam, perawan itu sudah mengingatkannya. Oh, Lea paham. Perempuan itu sepertinya tidak memiliki teman berkencan hingga harus mengganggu orang lain.

"Nanti, ya. Sedikit lagi Tante Lea selesai."

Aidan mengangguk. Anak itu menjauhi Lea. Mata anak itu terus memandangi kolam renang di hadapannya. Air yang begitu menggiurkan untuk dimasuki. Ia akan menunggu sedikit lagi sampai tante cantiknya selesai dan menemaninya berenang.

Sementara Lea meneruskan pekerjaannya. Sedikit lagi selesai. Hari ini, selesai berenang, ia akan meminta Bu Siti memanggil tukang pijat favoritnya. Tubuhnya pegal setelah semalaman mengerjakan laporan keuangan ini. Sebelumnya, ia akan menemani Aidan berenang dulu.

Jika Rasa Menyambut (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang