Selamat menikmati....
"Hei," panggil Lea ketika melihat Akbar terdiam di ruang tunggu pengadilan.
Hari itu akhirnya tiba. Saat di mana surat panggilan dari pengadilan datang. Hanya beberapa minggu setelah Akbar memberikan konfirmasi penolakan pada pengacara keluarga Fadli. Mereka gerak cepat. Langsung mengajukan gugatan ke pengadilan. Maka, di sinilah Akbar menghabiskan Senin siangnya.
Lea sudah meminta izin pada atasannya. Bukan, bukan dirinya yang datang ke kantor. Akbar yang mendatangi bos perempuannya. Mengajukan izin untuk menghadiri sidang. Seperti biasa, perempuan itu langsung setuju.
Akbar membutuhkan Lea. Perempuan itu akan menguatkannya. Laki-lak itu tahu kalau istrinya adalah perempuan tangguh. Lea akan bisa menguatkan ibu dan bapak juga. Mereka hadir demi mempertahankan cucu kesayangan mereka. Aidan dan Marsha adalah permata hati mereka. Keduanya menjadi pelipur lara setelah kehilangan anak perempuannya.
"Oh, iya. Kenapa?"
Lea tidak menjawab. Tangan kanannya mengarahkan sesendok nasi ke mulut suaminya. Akbar belum makan dari pagi. Laki-laki itu seperti tidak memiliki nafsu makan. Tidak biasanya. Akbar tidak pernah melewatkan sarapannya.
Akbar menerima suapan itu. Bagaimana tidak? Nasi itu sudah berada di bibirnya. Tidak ada alasan selain membuka mulut dan membiarkan giginya mengunyah.
"Kamu belum makan, Bar?" suara ibu terdengar. Perempuan itu duduk di samping Lea. Ia mencondongkan tubuhnya ke samping untuk melihat adegan suapan itu.
"Sarapan juga belum, Bu." Lea yang menjawab. "Susah dibilangin. Kamu harus makan biar bisa menjawab pertanyaan nanti. Enggak nafsu makan kayak Marsha lagi tumbuh gigi aja." Lea bercerocos hingga membuat Akbar menyunggingkan senyum.
"Makan yang banyak biar nanti bisa jawab pertanyaan," kata ibu.
Lea mengangguk menyetujui. Tangannya terus memberikan suapan pada suaminya. Ia seperti tidak peduli dengan sekitar yang ramai. Tidak peduli dengan beberapa orang yang memandang mereka. Bagi Lea, Akbar harus tetap kuat untuk menghadapi persidangan ini.
Sampai akhirnya, panggilan kasus mereka dimulai.
Selama persidangan, Akbar menjawab pertanyaan pengacara keluarga Fadli dengan mudah. Pertanyaan seputar keputusan Akbar untuk mengasuh kedua keponakannya. Akbar menjawabnya dengan jujur.
Mata Lea memandang sekitar. Bola matanya mencari keluarga Fadli. Amarah di dadanya sudah memuncak. Ia akan menghampiri mereka. Meluapkan segala kekesalannya pada mereka.
Tapi, mereka tidak hadir. Persidangan hanya dihadiri oleh pengacara. Dasar pengecut. Lea mengeram kesal. Tidak habis pikir dengan pemikiran mereka. Ya Tuhan, demi uang rela melakukan apapun.
Orang kaya yang bahkan lebih hina dari manusia terhina sekalipun. Lea tidak percaya dengan modus mengambil hak asuh demi uang. Kalau hanya uang, Lea yakin suaminya akan mengeluarkan berapapun demi Aidan dan Marsha.
"Saudara Akbar, bisa ceritakan awal mula Anda mengasuh Aidan dan Marsha," hakim memberikan pertama pada Akbar.
Laki-laki itu menoleh. Matanya memandang Lea, ibu, dan bapak yang duduk di deretan kursi panjang. Tiga orang yang begitu dicintainya. "Ketika kakak perempuan saya dan suaminya meninggal, saya dan istri memutuskan untuk membawa keduanya ke rumah kami."
"Jadi, Anda dan istri yang memutuskan? Bukan orangtua Anda?"
"Bukan. Ketika itu, bapak saya sakit stroke. Beliau menggunakan kursi roda atau tongkat untuk membantunya beraktivitas. Ibu saja pensiunan. Saya pikir, beliau akan kesulitan jika harus mengurus kedua anak kecil yang sedang aktif-aktifnya. Jadi, setelah berdiskusi dengan istri, saya memberitahu kedua orangtua saya. Dan, mereka setuju."
"Apakah istri Anda langsung setuju ketika Anda memutuskan ingin mengasuh kedua keponakan Anda?" pengacara keluarga Fadli bertanya.
Lea tidak setuju. Ia benci anak-anak. Aku harus berusaha meyakinkan istriku kalau keduanya tidak akan merepotkan dan mengganggu kehidupan Lea. Aku berusaha membuat Lea yakin jika mereka hanya perlu tinggal di rumahku.
"Istri saya langsung setuju. Dia sangat menyukai anak-anak."
Ya Tuhan, Lea ingin menangis mendengarnya. Dusta yang diucapkan suaminya justru seperti air yang disiramkan ke wajah Lea. Perempuan itu tidak sebaik yang diucapkan Akbar.
"Akbar jawabnya tenang, Lea," kata ibu di samping Lea.
"Iya, Bu. Itu salah satu yang bikin Lea jatuh cinta," katanya. Oh, pipinya memerah. Dilihatnya ibu tersenyum menggodanya.
Tidak ada yang lebih membahagikan selain melihat anak dan menantunya saling mencintai.
"Istri Anda bekerja?"
"Ya. Dia akuntan di perusahaan farmasi."
"Jadi, Aidan dan Marsha diasuh oleh pengasuh?"
Akbar mengangguk.
"Yang Mulia," suara pengacara Fadli menghentikan sementara tanya jawab tersebut. Ia berdiri di antara Akbar dan hakim. "Ini dapat dijadikan pertimbangan. Istri Saudara Akbar bekerja. Artinya, pengasuhan kedua anak tersebut diasuh orang lain yang kita tidak tahu bagaimana karakternya. Bisa saja jika pengasuhnya sering memukul keduanya."
"Bu Siti tidak seperti itu," Akbar menginterupsi. "Nama pengasuhnya Bu Siti. Beliau adalah pengasuh istri saya. Ketika saya menikahi istri saya, beliau ikut tinggal di rumah kami. Jadi, saya tahu betul bagaimana pengasuhannya. Lagi pula, saya memiliki usaha sendiri. Pekerjaan lebih banyak dilakukan di rumah."
Itu menjadi kalimat penutup yang diucapkan Akbar sebelum persidangan berakhir. Belum ada putusan hakim. Sidang kedua akan dilakukan dua minggu lagi.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/209969874-288-k836055.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Rasa Menyambut (Selesai)
Fiction généraleAkbar mencintai istrinya, Lea. Sejak kali pertama bertemu, ia sudah menambatkan hati pada sosok cantik itu. Meski akhirnya berhasil menjadikan Lea istrinya setelah percobaan lamaran yang berkali-kali, ia tidak juga membuat perempuan itu jatuh cinta...