Jangan lupa berikan votes dan komentar kalian di cerita ini. Silakan follow akun aku untuk baca cerita lainnya. Selamat menikmati. Hatur nuhun.
"Hello, Mommy Lea."
Lea menatap jengah Anna yang terus memanggilnya mommy sepanjang hari ini. Keputusan salah bercerita permasalahannya dengan Akbar pada dua manusia di hadapannya ini. Bukan hanya Anna tapi juga Farel. Keduanya kompak merundungnya.
"Stop, Anna," kata Lea.
"Lho, kenapa? Kan kalian sudah jadi orangtua angkat keponakannya Akbar. Pasti mereka akan panggil mommy dan daddy."
Kalimat Anna tadi menyentak pikiran Lea. Ia tidak memikirkan hal ini sebelumnya. Aidan dan Marsha akan menghabiskan waktu mereka di rumahnya. Itu berarti sampai mereka dewasa. Tidak mungkin kalau hanya tinggal dan dibiayai Akbar. Mereka perlu wali untuk mengurusi administrasi kependudukan.
Ia harus membicarakan masalah ini pada Akbar. Ia tidak mungkin menaruh namanya sebagai wali mereka. Tidak mungkin juga jika kartu keluarganya bersama Akbar ditambah dengan kedua nama anak-anak itu. Itu bukan ide yang bagus.
"Mana mau Akbar dipanggil dengan model bule gitu," Farel menyahut. "Pasti dia maunya dipanggil ayah. Nah, pasangannya bunda. Iya, kan, Bunda Lea?" godanya.
Anna menggeleng. "Enggak cocok. Bunda itu biasanya lembut. Lea enggak cocok."
Lea meninggalkan kedua untuk masuk ke dalam kantornya. Ia benci digoda seperti ini. Biasanya ia tahan digoda dengan hal apapun oleh mereka. Tapi digoda tentang menjadi orangtua, menjadi ibu, itu sangat mengesalkan. Lea benci menjadi orangtua. Ia tidak suka memiliki anak. Baginya, anak adalah beban yang akan menghambat pekerjaannya.
Seperti dulu yang pernah dilakukan orangtuanya.
Orangtuanya menghabiskan waktu mereka dengan bekerja di berbagai negara sebagai diplomat. Lea tidak merasakan bagaimana nikmatnya berpindah-pindah negara. Ia menghabiskan waktunya lebih banyak di rumah dan ditemani Bu Siti. Perempuan yang ia angap sebagai pengganti mamanya.
Ketika anak lain dibuatkan sarapan oleh mamanya, Lea dibekalkan makanan oleh Bu Siti. Ketika anak lain liburan mengunjungi kebun binatang dengan orangtuanya, Lea ditemani Bu Siti dan Pak Rahmat-supirnya. Ketika anak lain dibantu mengerjakan PR oleh ayahnya, Lea dibantu guru privat yang dipesan mamanya.
Lea hanya sedikit menghabiskan waktunya bersama orangtuanya. Papa dan mama hanya datang tiga bulan sekali untuk mengunjunginya. Itu tidak lama. Hanya seminggu menghabiskan waktu menemaninya. Tiga bulan waktunya hanya dibayar seminggu. Lea sudah biasa.
Tadi, Anna menjejalinya dengan ilmu pengetahuan merawat anak laki-laki dan perempuan. Perempuan itu bersikeras menjelaskan pada Lea meskipun ia menolak. Sudah ada Bu Siti yang akan merawat kedua anak itu. Juga ada Akbar. Tidak perlu bertambah lagi dengan dirinya ikut masuk ke dalam lingkaran pengasuhan itu.
Anna menekankan untuk menjaga kestabilan emosi Aidan. Anak itu melihat sendiri jenazah kedua orangtua. Kelak, ia pasti mengingat dan bertanya mengenai alasan kepergian mereka. Menurut Anna, Lea dan Akbar harus bisa kerja sama untuk setidaknya mengganti posisi orangtuanya. Lakukan apa yang biasa orangtua anak itu lakukan. Hal itu tidak akan menimbulkan kekosongan kasih sayang Aidan.
Lea boleh meneleponnya kapan saja jika ia membutuhkan bantuan Anna. Itu pesan terakhir Anna pada Lea. Anna sangat percaya pada Lea. Kata perempuan itu, Lea pasti bisa menjadi ibu yang baik bagi keduanya. Lea akan menjadi ibu luar biasa yang dicintai Aidan dan Marsha.
Itu membuat Lea meringis.
***
Lea menghabiskan waktu pulang kerjanya dengan berbelanja di Senayan City. Ia bahkan rela bermacet-macetan di jalan. Dari balik kemudi, Lea justru menikmati mobilnya yang berhenti. Itu lebih baik daripada pulang dan melihat kedua anak itu.
Lea tidak membenci mereka. Sungguh. Ia bersikap biasa saja setiap kali berkunjung ke rumah ibu dan bapak. Aisyah dan keluarga kecilnya juga pernah mengunjungi rumahnya. Ia tidak pernah bersikap selayaknya membenci kedua anak itu. Tapi, untuk menjadi orangtua mereka? Lea sangat tidak suka.
Lea menghabiskan uang hampir 15 juta untuk membeli sebuah tas dan sepatu. Falp bag Chanel dan sepatu Louis Vuitoon. Akbar pasti marah jika ia menghabiskan banyak uangnya untuk membeli kedua benda ini. Akbar tipe laki-laki yang suka kenyamanan bukan kemewahan.
Akbar tidak habis pikir pada perempuan yang menghabiskan uang hingga ratusan juta hanya untuk sebuah tas. Bagi Akbar, tidak ada bedanya tas seharga seratus juta dengan lima ratus ribu rupiah.
"Kalau hotel bintang satu dan lima kelihatan bedanya. Dari menu sarapan, fasilitas, dan kebersihan. Kalau tas? Memang kalau menaruh dompet di tas mahal, uangnya akan beranak pinak?"
Itu alasan logis yang berikan Akbar ketika Lea bercerita tentang bos di kantornya yang membeli tas hampir seratus juta. Ya, memang Lea tidak pernah melihat Akbar menggunakan barang mewah. Termasuk mobilnya yang hanya Avanza seharga tidak lebih dari dua ratus juta.
Orang kaya sesungguhnya tidak akan pernah bersikap mewah.
Lea keluar dari mobilnya sambil menenteng dua kantung tas belanjaannya. Ia melihat Akbar sedang lari-lari kecil di halaman depan rumahnya. Satu-satunya kemewahan dari laki-laki itu adalah rumahnya. Memiliki halaman luas yang sering digunakan Akbar untuk berolahraga.
Mata Akbar memincing melihat tas belanjaan Lea. Dari logo yang tertera, Akbar bisa menebak berapa rupiah belanjaan istrinya malam ini. Alih-alih marah, Akbar justru tersenyum menghampiri istrinya.
Ah, Lea masih sama. Perempuan yang menjadi cintanya pada pandangan pertama. Perempuan yang ditemuinya ketika memapah tubuh besar Farel. Perempuan yang sejak awal sudah Akbar bidik untuk jadi istrinya.
Sesaat setelah sadar dirinya jatuh cinta pada Lea, Akbar segera meminta doa pada ibunya. Ia bercerita tentang perempuan yang mampu membuat dadanya bergemuruh. Akbar sangat berharap jika perempuan itu yang akan bersandingnya dengannya di pelaminan. Itu terwujud.
Tentu saja bukan karena kerasnya usaha Akbar meyakinkan Lea untuk menjadi istrinya. Bukan pula kegigihannya melamar Lea hingga lima kali. Ini semua berkat doa ibunya. Tidak ada doa paling mustajab selain doa ibu untuk kebahagiaan anaknya.
"Aku beli tas dan sepatu," kata Lea. "Kalau kamu enggak suka, nanti kuganti pakai uangku." Itu tentu saja hanya bualan. Kalau Akbar bersikeras meminta ganti, Lea akan meminta papanya. Ia tidak peduli dengan pandangan papa tentang tanggung jawab Akbar sebagai suami.
Akbar menggeleng sambil tersenyum. Bibir laki-laki itu langsung mencium istrinya dengan penuh perasaan. Ciuman pertamanya yang dulu ia berikan pada Lea. Istrinya merespon dengan melepaskan tangannya pada kantung belanjaan. Kedua tangan Lea melingkar di leher Akbar.
Berciuman dengan Akbar adalah salah satu dari momen yang ia sukai dengan pernikahan ini. Akbar itu seorang good kisser. Ciuman laki-laki itu selalu mampu membuat lutut Lea lemas. Persetan dengan cinta. Lea bisa juga seperti laki-laki pada umumnya. Menikmati romantismenya dengan Akbar tanpa perlu memiliki perasaan cinta pada laki-laki itu.
Mereka terus berciuman. Akbar dan Lea saling memiringkan kepala untuk mengecap lebih dalam. Tangan Lea bahkan sudah meremas rambut Akbar ketika laki-laki itu memperdalam ciuman mereka.
Akbar hanya bisa berdoa kalau di antara ciuman mereka, ada satu yang mampu masuk ke relung hati perempuan itu. Akbar harus lebih sering berdoa dengan khusyuk. Ia tahu jika ia tidak bisa meminta bantua doa dari ibunya. Cukup ia berusaha dan bermunajat pada Tuhan.
Ia hanya berharap semoga Lea bisa mencintainya meskipun hanya sedikit.
"Gantinya hattrick aja malam ini," bisik Akbar.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Rasa Menyambut (Selesai)
Narrativa generaleAkbar mencintai istrinya, Lea. Sejak kali pertama bertemu, ia sudah menambatkan hati pada sosok cantik itu. Meski akhirnya berhasil menjadikan Lea istrinya setelah percobaan lamaran yang berkali-kali, ia tidak juga membuat perempuan itu jatuh cinta...