Akbar mengabaikan email yang dikirimkan pengacara keluarga Fadli. Haruskah ia menyebutnya mantan keluarga. Sudah hampir sembilan tahun, almarhum kakak iparnya tidak pernah bertemu keluarganya. Tepatnya, keluarganya sendiri membuang Fadli karena menikahi Aisyah.
Sering, Akbar diliputi pertanyaan besar mengenai alasan tidaksukaan keluarga Fadli pada kakak kandungnya. Aisyah adalah perempuan baik-baik. Ia memiliki pekerjaan bagus, keluarganya juga sama. Keluarga Akbar tidak memilki kesulitan ekonomi hingga orang lain harus meremehkan mereka. Biasanya faktor ekonomi keluarga menjadi pertimbangan dalam memutuskan pernikahan. Mereka hampir setara secara ekonomi. Hal ini masih menjadi tanda tanya dalam pikiran Akbar.
Ia yakin, ada sesuatu yang membuat orangtua Fadli menolak Aisyah.
Rasa tak abai itu juga dilakukan Akbar ketika pengacara itu menelepon bahkan mendatangi kantornya. Laki-laki berusia 50 tahun itu tetap bernegosiasi dengan Akbar agar mau menyerahkan Aidan dan Marsha dengan baik-baik. Keputusan Akbar tentu saja menolak. Ia akan berjuang mempertahankan kedua anak yang dicintainya.
"Bar," panggil Lea. "Kamu ngerasa aneh, enggak sih. Kok, tiba-tiba mereka mau hak asuh Aidan dan Marsha?"
Pertanyaan Lea membuat Akbar tertegun. Ini harusnya menjadi kejanggalan. Keluarga yang tiba-tiba cuek dan tidak peduli dengan adik dan anaknya tiba-tiba ingin merawat keponakan dan cucu mereka. Pasti ada hal lain yang sebenarnya mereka inginkan.
"Apa?"
"Harta mungkin."
Akbar menggeleng. Itu mustahil. Aisyah menjadi ibu rumah tangga setelah kelahiran Aidan. Fadli bekerja sebagai pimpinan cabang sebuah bank swasta. Rumah yang mereka tinggali juga hasil bekerja mereka berdua. Rumah sederhana yang luasnya bahkan tidak sampai 100 meter. Mustahil jika menginginkan harta.
Akbar sudah mengurus tabungan Fadli. Di buku tabungan yang ditemukan ibu di rumah kakaknya, hanya ada dua rekening utama bank yang sama dengan tempat Fadli. Satu rekening Fadli-yang berisi gaji bulanan. Satu rekening Aisyah-yang isinya hanya untuk keperluan sehari-hari. Ada dua rekening untuk asuransi pendidikan Aidan dan Marsha. Setoran bulanan yang kini Akbar yang meneruskan. Hanya itu. Tidak ada benda-benda berharga lain. Aisyah tidak memiliki banyak perhiasan selain cincin nikah dan sebuah kalung.
Lea juga tahu itu. Ibu menceritakan semuanya pada menantu perempuan kesayangannya. Keduanya memang saling bercerita layaknya ibu dan anak kandung. Lea mendengarkan setiap yang ibu ucapkan. Mendengarkan dengan sangat nyaman.
"Kita lebih baik tanya ibu dulu, deh."
Mereka masih di mobil-dalam perjalanan menuju Jagakarsa. Avanza hitam Akbar menembus Jalan Ampera yang sore itu terasa lebih senggang. Mereka harus menghindari Ragunan. Sudah pasti macet. Orang-orang ingin menikmati waktunya liburan dengan melihat aneka hewan.
"Ibu, tadi kenapa sebut nama Aidan." Suara Aidan tiba-tiba menginterupsi.
Lea lupa jika anak itu tidak tertidur di jok belakang. Tidak lagi seperti Marsha yang asyik memejamkan mata di kursi balitanya. Aidan hanya terdiam karena matanya sibuk memperhatikan jalan-jalan. Telinganya masih mampu mendengar dengan sempurna.
"Oh, tadi Ibu tanya bapak. Aidan udah pernah ke Ragunan belum?" dustanya.
Aidan langsung tergelak. Matanya berbinar menatap Lea. "Udah, Bu. Dulu sama mama dan papa waktu Marsha masih di perut mama. Tapi, Marsha berarti belum pernah ke Ragunan, Bu."
Lea tersenyum senang. Setiap kali bercerita tentang mama dan papanya, Aidan tidak menangis atau sendu. Anak itu bercerita seolah-olah mama dan papanya hanya pergi sebentar. Kesedihan memang tidak cocok dengan anak-anak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Rasa Menyambut (Selesai)
Ficción GeneralAkbar mencintai istrinya, Lea. Sejak kali pertama bertemu, ia sudah menambatkan hati pada sosok cantik itu. Meski akhirnya berhasil menjadikan Lea istrinya setelah percobaan lamaran yang berkali-kali, ia tidak juga membuat perempuan itu jatuh cinta...