Hai, kayaknya Wattpad sedang ada trouble di perhitungan jumlah pembaca. I had told them about this problem. Mereka masih menginvestigasinya. So, I just wait and see.
Cerita ini akan memasuki akhir. Tidak sepanjang ceritaku sebelumnya. Tapi, tetap lemaskan jari kalian untuk klik bintang dan komentar, ya. Hatur nuhun. Selamat menikmati
"Ibu...."
Teriakan Aidan menyambut kepulangan Akbar dan Lea. Anak laki-laki itu menggunakan celana pendek dan kaus biru tanpa gambar. Ketika mendengar suara mobil, ia langsung berlari ke teras depan. Begitu melihat sosok ibunya keluar dari pintu belakang, ia langsung berlari menghampiri. Rasanya selalu rindu dengan ibu. Aidan selalu tidak sabar untuk bertemu dan memeluk ibunya.
"Ibu dari mana?" tanya Aidan. "Lho, kok, ada nenek dan kakek?" tanyanya kebingungan.
"Ibu dari rumah nenek buat ambil brownies," kata sang nenek.
Aidan memekik girang. Brownies adalah kue favoritnya. Sewaktu mamanya masih hidup, ia sering mendapatkan brownies buatan sang mama. Sekarang, neneknya memberikan kue lezat itu. Lea tidak pernah membuat brownies untuknya. Jangankan brownies yang bahannya macam-macam, sekadar memasak sarden kalengan saja, ia tidak mampu.
"Bu, Aidan boleh makan brownies banyak enggak?" tanyanya. Tangannya masih mengapit tangan putih Lea. Sambil tangannya menggandeng Lea, ia berjalan beriringan ke rumah.
"Boleh. Tapi, sebelum tidur jangan lupa...," Lea menggantung kalimatnya.
"Gosok gigi biar enggak sakit, kan?"
"Pintarnya anaknya ibu."
Aidan tersenyum. Anak-anak memang senang dipuji. Lea belajar itu dari ibu. Nasihat yang diberikan dalam mengasuh anak ditanamkan baik-baik oleh Lea. Sekecil apapun kelebihan dan kepintaran anak, harus dipuji. Itu bentuk apresiasi orangtua. Nantinya, dalam diri anak akan muncul keinginan untuk melakukan hal lebih baik. Lea percaya itu. Sudah terbukti pada Akbar.
"Sini, nenek potong dulu browniesnya." Ibu langsung mengambil piring dan pisau. Ia tidak terlihat canggung melakukan hal itu di rumah anaknya. Biasanya orangtuanya akan merasa canggung bila anak laki-lakinya sudah menikah. Ia akan merasa itu bukan rumah milik anaknya lagi.
Adalah sikap Lea yang membuat perlakuan ibu tidak berubah di rumah ini. Perempuan itu menganggap ibu seperti ibu kandungnya. Bandelnya Akbar, keinginannya berbelanja, dan segala kelucuan diceritakan pada ibu. Lea menemukan sosok ibu yang sesungguhnya pada ibu mertuanya.
"Nek, potongnya jangan besar-besar. Nanti, dedek juga mau," kata Aidan mengingatkan sang nenek. Anak itu sudah duduk di kursi makan.
"Manisnya cucu nenek. Sayang banget sama dedeknya."
"Iyalah. Kan, Marsha adiknya Aidan."
Lea membalas itu dengan menciumi wajah Aidan. Anak itu tertawa bahagia. Pokoknya, segala yang berhubungan dengan ibu cantiknya akan membuatnya bahagia.
"Ini, nenek kasih banyak buat Aa."
"Makasih, Nek."
Aidan langsung sibuk mengunyah brownies itu. Matanya fokus memperhatikan potongan kue berwarna cokelat itu. Selalu terasa lezat di lidah.
Pemandangan Aidan memakan brownies membuat Lea tersenyum. Ia tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Aidan dan poros kehidupannya. Lea bahagia memiliki anak itu. Sekarang hingga akhir hayatnya, ia akan terus menjadi bagian hidup anak itu.
"Bu..., Bu...."
Marsha terlihat berjalan dengan cepat. Bokongnya yang ditutupi celana dengan diapers terlihat lucu ketika anak itu berjalan. Seperti badut. Tangan mungilnya terangkat. Ia minta digendong Lea. Perempuan itu menuruti puteri kecilnya. Wajah Marsha penuh dengan ciuman Lea. Balita dua tahun itu tertawa keras. Tangan mungilnya memegang wajah Lea.
"Bu, li cucu uat oneka," katanya. Tangannya menunjuk boneka yang dibawa Bu Siti. Ia meminta dibelikan susu untuk bonekanya. "Oneka nanis nda num cucu," katanya lagi.
Semua orang yang ada di ruangan itu langsung tertawa. Bonekanya menangis karena tidak minum susu. Dikira Marsha yang langsung mengeluarkan air mata jika Akbar atau Aidan menggoda jika susu anak itu habis. Memang imajinasi yang sangat luar biasa.
Tapi, siapa peduli dengan imajinasi. Balita dua tahun itu justru ikut tertawa dengan yang lainnya. Ia mengira jika orang-orang sedang bermain tertawa. Ia ingin ikut bermain. Maka, ia juga tertawa.
Ah, anak-anak dan kebahagiannya yang selalu menular.
***
"Jadi, mereka enggak datang?" tanya Anna.
"Enggak, cuma diwakili sama pengacaranya aja."
Lea sedang menikmati makan siang bersama Farel dan Anna. Tentu saja bersama mereka. Siapa lagi teman dekatnya di kantor kalau bukan mereka? Mereka makan di restoran Jepang. Memesan ramen dan sushi sebagai menu makan siang.
Restoran ini letaknya di pinggir Jalan Tendean. Berlantai dua yang tidak terlalu luas. Anna yang pertama kali mengajaknya makan di tempat ini. Harganya tidak mahal. Lea tidak pernah menghabiskan seratus ribu untuk makan kenyang dengan minuman segar di sini. Cocok untuk tanggal tua. Tapi, seharusnya Lea tidak memikirkan tanggal tua. Debit yang ia pegang dari suaminya tidak mengenal tanggal tua.
Ada banyak pengunjung yang datang siang ini. Keramaian yang membuat mereka memilih duduk di pojokan lantai dua. Makan sambil menikmati kemacetan daerah Tendean bukan hal buruk. Lebih baik karena mereka terlibat pembicaraan mengenai sidang kemarin.
Lea senang bercerita dengan Anna dan Farel. Kedua teman dekat yang dimiliki Lea saat ini. Ia yang tidak pernah menemukan teman yang klik dengannya sejak sekolah, akhirnya bisa menemukan best friends. Mungkin, karena mereka selalu bersikap apa adanya di depan Lea. Tidak pernah bertopeng.
"Menurut lu, gue harus resign, enggak?" kata Lea. Ia menceritakan lengkap soal jalannya sidang perdana kasus hak asuh anaknya itu.
"Menurut gue, itu enggak jaminan, Lea. Selama kalian bisa membuktikan jika lu bisa meng-handle anak-anak, it's okay. Biasanya kalau kasusnya pelik, KPAI bakal turun tangan."
"Setuju, Lea. Gue pikir, lu menikmati kerja di sini." Tambah Farel.
"Tapi, gue enggak mau kehilangan mereka." Mimpi Aidan dan Marsha meninggalkannya saja sudah membuat Lea bersedih. Apalagi jika menjadi kenyataan. Lea tidak dapat membayangkan bagaimana kehidupannya jika mereka tidak ada dalam jangkauannya.
"Lea sayang, Anna benar. Itu enggak jaminan. Menurut gue, peluang kalian tinggi."
Semua orang juga akan mengatakan hal serupa. Hadi bahkan bisa menjamin jika Lea dan Akbar akan memenangkan kasus ini. Peluangnya besar. Lea dan Akbar telah menghabiskan waktu hampir satu tahun untuk mengasuh kedua anak itu-Marsha dan Aidan. Pola didikan dan kasih sayang keduanya bisa membuat anak-anak itu bahagia.
Sementara keluarga Fadli, entah kemana selama hampir sembilan tahun. Sejak kelahiran Aidan hingga anak itu berusia hampir tujuh tahun, tidak pernah terdengar kabar. Datang dan membawa kasus ini.
Lea sudah membuka semuanya pada Hadi, termasuk soal saham 13 miliar itu. Menurut Hadi, masalah itu akan diangkatnya sebagai senjata terakhir. Lea menyerahkan semuanya pada Hadi.
"Eh, Lea, gue kepo nih," kata Anna. "Lu bayar berapa Hadi jadi pengacara lu?"
Lea hanya mengedikkan bahu. Ia tidak tahu. "Papa gue yang bayar."
"Gila, deh. Itu pengacara, kan, mahal banget bayarannya," cerocos Farel.
Di awal pertemuan untuk membicarakan kasus yang dihadapi, Akbar bertanya soal bayaran Hadi. Tapi, laki-laki paruh baya itu mengatakan jika mereka tidak perlu repot membicarakan bayaran dan honor. Semuanya sudah diselesaikan oleh papanya Lea. Itu bentuk bantuan papa pada puteri kesayangannya.
Tapi, Lea akan melakukan apapun demi mempertahankan Aidan dan Marsha. Meskipun ia harus mengeluarkan uang sendiri, ia rela.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Rasa Menyambut (Selesai)
Ficção GeralAkbar mencintai istrinya, Lea. Sejak kali pertama bertemu, ia sudah menambatkan hati pada sosok cantik itu. Meski akhirnya berhasil menjadikan Lea istrinya setelah percobaan lamaran yang berkali-kali, ia tidak juga membuat perempuan itu jatuh cinta...