Istri dan Jajan

7.8K 841 14
                                    


Lea tidak ingin Akbar pergi. Perasaan itu tiba-tiba muncul dalam hati perempuan itu ketika Akbar mengabarkan akan ke Malaysia hari ini. Akbar mengatakan hal itu minggu lalu. Katanya urusan bisnis selama seminggu. Suaminya berniat mengembangkan kerja sama bisnisnya di negeri Jiran itu. Aplikasi Jodoh? akan melebarkan sayapnya ke negeri tetangga. Malaysia adalah negara pertama.

Seharusnya Lea senang. Seminggu tanpa Akbar akan membuat hidupnya bebas. Lea akan menghabiskan waktunya ke klub bersama Farel, minum sedikit beer dan menari di lantai klub bersama perempuan-perempuan lain di sana. Seperti dulu yang sering ia lakukan sebelum menikah dengan laki-laki itu. Seharusnya pikiran itu yang hinggap di kepala Lea.

Nyatanya, tubuh Akbar yang tertidur di sampingnya, roti bakar dan nasi goreng buatan Akbar, pelukan, hingga kecupan-kecupan Akbar yang kini menari-nari dalam pikiran Lea. Ia tidak akan melihat dan merasakan itu semua selama seminggu. Rasa kepercayaan diri Lea runtuh melihat Akbar mengemasi pakaian-pakaiannya. Ia seperti perempuan lemah yang kini bergantung pada laki-laki di hadapannya.

"Emang selama itu, ya, Bar?" tanya Lea.

Gerakan Akbar yang sedang memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam koper besarnya terhenti. Ia menjernihkan pikirannya untuk mencerna ucapan istrinya. Lea bukan tipe perempuan yang senang romantisme ucapan. Setiap memadu kasih, Lea tidak pernah menuntut mulutnya memuji Lea. Cukup gerakan Akbar yang membuat Lea melenguh nikmat.

Beberapa hari lalu, Akbar mengutarakan niatnya pergi ke Malaysia pada Bu Siti. Perempuan itu tidak terlihat seperti pengasuh Lea. Ia terlihat seperti sosok ibu mertua. Rasa sayang Lea pada Bu Siti bahkan seperti rasa sayang Akbar pada ibu. Akbar menghormati Bu Siti seperti yang ia lakukan pada ibu dan mertuanya.

Ada rasa khawatir meninggalkan kedua keponakan kecilnya bersama Lea. Akbar yakin Lea tidak akan melakukan hal di luar batas pada Aidan dan Marsha. Bentuk ketidaksukaan Lea hanya sebatas dengan mendiamkan keduanya. Itu sudah bentuk rasa tidak suka tertinggi dalam kamus hidup Lea.

Akbar mengkhawatirkan Lea. Janji yang ia ucapkan pada Lea ketika membawa Aidan dan Marsha adalah kenyamanan Lea di rumah ini. Tidak ada yang berubah dengan kehadiran kedua bocah kecil itu. Lea akan tetap merasa nyaman menghabiskan waktunya di rumah ini.

Lea harus bahagia di sini.

Sejak awal menikahinya, hanya itu yang dijanjikan Akbar. Tentang semua rasa cinta laki-laki itu padanya. Tentang bagaimana Akbar memuja Lea. Tentang bagaimana usaha Akbar membuat Lea jatuh cinta padanya. Yang terpenting, bagaimana cara Akbar untuk terus membahagiakan Lea.

Bu Siti cerita semuanya pada Akbar. Mengenai kondisi yang dialami Lea selama ini. Rasa kesepian yang terus menghantui Lea sejak kecil. Kerinduan pada sosok orangtua yang selama ini tidak pernah terbayarkan. Lea memendam semuanya.

Lea tidak pernah membenci pernikahan dan anak-anak. Semua itu hanya hantu yang tidak sengaja ditanamkan orangtuanya pada pikiran perempuan itu. Lea yang masih kecil hanya menerima itu sebagai sesuatu kebenaran. Ia tidak pernah tahu kenyataannya.

"Bar?" suara Lea membuyarkan lamunan Akbar.

"Hhmmm," laki itu menarik resleting kopernya. Ia beranjak menghampiri istri cantiknya. "Rindu?" godanya.

Lea menggeleng. Rindu? Oh, tentu saja kalimat itu tidak akan keluar dari mulutnya. Ia tidak akan pernah mengatakan hal itu sedang hatinya masih gamang. Ia tidak tahu perasaan apa yang menderanya setelah lebih dari setengah tahun menikah dengan Akbar. Ia belum memutuskan.

Akbar duduk di pinggir ranjang samping istrinya. Tangan besarnya memeluk tubuh langsing Lea dari samping. Mulutnya menghirup aroma tubuh Lea yang selalu membuatnya kecanduan. Gila memang. Akbar tidak pernah meminum minuman alkohol. Ia tidak tahu rasanya mabuk. Tapi, ia sudah mabuk kepayang pada istrinya sendiri.

"I love you, Lea. I love you so much," bisik Akbar.

Untuk pertama kalinya, tubuh Lea merinding mendengar ucapan cinta Akbar

***

Lea sama sekali tidak menolak ketika tangan Akbar menggenggam jemarinya. Setelah Pak Rahmat-supir mereka-menurunkan di depan terminal 3 Bandara Soetta, Akbar terus menautkan jemarinya dengan Lea. Ia ingin terus berada di sisi istrinya. Rasanya ingin seperti itu. Tapi, tuntutan pekerjaan membuatnya harus berjauhan dengan Lea. Ini pertama kalinya setelah mereka menikah.

Semalam, ia merasa ada yang berbeda dari sosok Lea. Perempuan itu terlihat seperti enggan melepasnya. Ketika menghabiskan waktu lebih banyak bercinta, Akbar merasakan hal yang aneh dari diri Lea. Telinganya menangkap bagaimana suara Lea ketika menyebutkan namanya. Ada hal yang ditahan Lea.

Sedikit pikiran Akbar mengarah ke sesuatu yang telah lama diharapkannya. Tapi, Akbar tidak ingin terlalu percaya diri. Prinsip Lea tentang cinta, sekokoh tembok raksasa di Cina. Perempuan itu tidak akan mudah memproklamirkan perasaan jatuh cinta dengan mudah pada laki-laki. Termasuk suaminya sendiri.

"Kamu mau titip beli oleh-oleh?" tanya Akbar.

Mereka duduk di sebuah restoran. Duduk berhadapan dengan Lea membuat Akbar dengan mudah menatap wajah cantik istrinya. Mata dan hidung Lea yang kecil. Pipi merahnya, bibirnya yang tipis, dan kulit putih bersihnya. Lea pandai merawat diri. Oh, bukan. Ia memang cantik sejak dulu. Tidak banyak yang berubah dari sosok Lea kecil hingga sekarang. Perempuan itu mewarisi kecantikan mamanya.

"Enggak. Aku udah sering ke Malaysia, Bar. Lagian, Malaysia dekat. Kalau mau sesuatu tinggal ke sana."

Akbar tersenyum. Lea sudah kembali menjadi ceriwis. Ini yang disukainya. Lea mengoceh dan Akbar menatap wajah cantik istrinya.

"Kenapa senyum?" tanya Lea. Mata perempuan itu memincing penuh curiga ke arah suaminya. "Kamu senang, ya, di sana enggak ada aku? Lama lagi sampai seminggu. Bisa main ke klub."

"Aku enggak suka ke sana. Berisik."

"Tapi nanti bisa ketemu banyak perempuan. Cantik, masih muda, segar."

"Sayang duitnya."

Lea melotot pada Akbar. "Kamu beneran berpikir ke PSK, gitu?"

Akbar menggeleng.

"Ya, terus apa?"

"Simbiosis mutualisme."

Itu pelajaran IPA waktu Lea SD. Tentang hubungan burung apapun yang Lea lupa namanya dengan kerbau. Kutu di tubuh besar kerbau menjadi santapan burung itu. Kerbau membiarkan burung itu hinggap di tubuhnya untuk menikmati makanannya. Sebagai gantinya, tubuh kerbau bebas dari rasa gatal. Hanya itu yang Lea ingat dari minimnya kemampuan sains-nya.

"Kok bawa-bawa pelajaran IPA?"

Akbar justru menjiwir hidung Lea dengan gemas. "Man get a sex, woman get a lot of money."

"Kayak aku?"

"Bukan aku yang ngomong, lho."

Lea langsung memajukan tubuhnya. Tangan dengan kuku panjangnya yang indah mencubiti perut Akbar. Laki-laki meringis sambil tetap menikmati. Kapan lagi Lea bertingkah seperti istri manja ini.

Sesaat, Lea menghentikan cubitannya. Matanya menatap Akbar sambil berkata, "Benar juga, sih. Sometimes, there's no difference between wife and prostitute. You have to pay a lot to get your wife's body."

***

Jika Rasa Menyambut (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang