Bagian ini sebenarnya masuk ke dalam cadangan cerita yang sudah kubuat sekitar dua minggu yang lalu. Ini part terakhir yang ada di dalam file cerita ini. Aku masih belum lagi menuliskan lanjutan cerita. Tapi, insya Allah aku akan tetap mencoba publish sesuai dengan jadwal. Readers, doakan semoga inspirasi datang lagi, ya. Karena, kayaknya, pikiran aku, tuh masih mandek. Bingung mau ke arah mana lagi cerita ini.
Jangan lupa terus berikan bintang dan komentar, ya. Hatur nuhun. Selamat menikmati cerita.
Pagi ini di kantornya, Lea sama sekali tidak paham dengan keanehan yang terjadi. Bos perempuannya-si perawan tua-itu menghampiri kubikelnya. Dengan senyum yang begitu manis dan baru pertama kali Lea lihat, perempuan itu menyuruh Lea untuk mengambil rapor Aidan.
"Kamu enggak apa-apa izin untuk ambil rapor keponakanmu."
Kalimat itu bahkan terdengar begitu syahdu di telinga Lea. Lembut, pelan, dan membuat hatinya meleleh. Perempuan yang biasanya memandangnya penuh keirian karena Lea menikah itu akhirnya berkata lembut padanya. Anna dan Farel yang melihat itu bahkan sampa melongo. Mereka meledek jika dukun yang Lea datangi ampuh menjinakkan si bos galak itu. Sialan memang.
Tentu saja Lea tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Persetan dengan segala kebingungan yang menghampiri pikirannya. Ia langsung melesat meninggalkan gedung kantornya menuju sekolah Aidan.
Ah, ia ingat ketika Akbar memberitahu jika hari ini adalah pembagian rapor. Itu momen favoritnya ketika sekolah. Tentu saja bukan karena Lea berprestasi dan akan membawa pulang piala juara kelas. Lea tidak pernah masuk tiga besar sepanjang rekor dua belas tahun sekolahnya. Ia murid biasa saja. Tidak pintar dan tidak juga bodoh. Hanya saja, pembagian rapor berarti kepulangan kedua orangtuanya. Lea mengingat itu dengan baik.
Papa dan mamanya selalu meluangkan waktu untuk mengambil rapor. Mereka tidak pernah menyuruh siapapun untuk mengambil hasil belajar anaknya. Biasanya, setelah mengambil rapor, mereka akan mengajak Lea makan atau jalan-jalan.
Lea selalu ingin mengambil rapor setiap hari.
Lea tersenyum sambil menatap Avanza hitam yang terparkir di halaman sekolah Aidan. Akbar pasti kaget melihat dirinya. Tadi, Lea sudah mengatakan jika ia tidak bisa datang. Tentu saja karena bos galak itu. Sekarang, ia bisa membayangkan raut bahagia Aidan melihat dirinya dan Akbar duduk bersisian di depan wali kelasnya. Anak itu pasti sama bahagianya dengan yang dirasakan Lea dulu.
Setelah bertanya pada beberapa orang, Lea hampir sampai di kelas Aidan di lantai dua. Sepanjang lorong terbuka yang menghadap lapangan, Lea memperhatikan kondisi kelas di sampingnya. Cukup besar untuk ukuran siswa yang berjumlah 25 orang.
"Tante Lea?"
Suara anak kecil menghentikan langkah Lea. Perempuan itu melihat Kenzi di depannya. Anak laki-laki itu mendongkakkan kepalanya untuk menatap Lea.
"Halo, Kenzi," sapa Lea. "Aidan mana?"
"Aidan masih di dalam, Tante. Sama Miss Henny dan Om Akbar juga."
Sejujurnya, Lea tidak merasakan hal apapun dari ucapan Kenzi. Anak itu lantas berpamitan dan disusul dengan mamanya. Lea bahkan sempat melihat tubuh Kenzi menghilang di belokan itu.
Dan, oh, Lea melihat itu. Sepasang orang dewasa duduk berhadapan di ruang kelas Aidan. Di samping Akbar, ada Aidan yang duduk manis. Mereka-Akbar dan Miss Henny-terlihat akrab.
Oh, dada Lea berdesir. Ia marah, kesal, dan entah rasa apa lagi yang bergelayut dalam hatinya. Rasanya ia ingin menghampiri mereka. Tapi, ia tahu diri. Ada kehormatan yang harus dijaganya. Maka, Lea perlahan mundur. Ia duduk di kursi depan kelas Aidan. Ia akan menunggu.
Lea mengingatnya. Bagaimana sikapnya selama ini pada Akbar juga Aidan dan Marsha. Ia belum bisa menerima kehadiran mereka. Bahkan, pada Akbar pun, ia masih enggan untuk membuka hatinya. Aidan dan Marsha yang ia anggap hanya sebagai angin lalu. Penolakannya untuk meresmikan keduanya menjadi anak angkat. Juga tentang kealpaan dirinya menemani mereka.
Mungkin, ia yang terlalu percaya diri. Lea cantik. Akbar menginginkannya. Lea terlalu besar kepala berpikir jika Akbar akan terus di sampingnya dan mencintainya. Akbar tidak akan peduli dengan sikapnya.
Peristiwa itu. Saat di mana ia menyebabkan Aidan tenggelam. Akbar tidak mengatakan apapun selain menjemputnya di rumahnya di Menteng. Mungkin, Akbar mempertimbangkan keputusannya lagi. Mungkin Akbar menyerah.
Akbar butuh istri yang mencintainya dan kedua keponakannya. Itu tidak ada pada diri Lea. Perempuan itu menyadari. Harus ada yang diisi Akbar untuk mengisi kekosongan perasaan sayang dan cinta dalam dirinya.
Oh, Lea sama sekali tidak membayangkan. Miss Henny adalah wali kelas Aidan. Perempuan itu pasti memiliki hati lembut karena mampu menjadi guru sekolah dasar tingkat rendah. Menghadapi anak-anak berjumlah 25 tidaklah mudah. Perempuan itu mampu melakukannya.
Lea bahkan mendengar suara tawa Akbar yang menggema. Laki-laki itu kelihatan bahagia sekali. Mungkin, memang ia tidak cocok menjadi pasangan Akbar. Lea tidak cocok untuk siapapun. Karena, Lea tidak memiliki sikap lembut seperti Miss Henny.
"Tante Lea."
Lea menoleh. Suara lengkingan Aidan terdengar begitu keras. Anak itu tersenyum melihat Lea. Ah, Aidan selalu senang melihat tante cantiknya. Maka, anak laki-laki itu merengsak masuk ke dalam tubuh Lea. Ia ingin memeluk Lea.
"Nyusul?" tanya Akbar.
Lea hanya mengangguk. Ia menarik tubuh Aidan dan menggandeng tangannya. Mereka berjalan beriringan. Lea merasakan bahunya disentuh Akbar. Tangan laki-laki itu terulur untuk merangkul Lea.
"Miss Henny itu lembut, ya?"
Akbar mengangguk.
"Baik juga kayaknya?"
Akbar mengangguk lagi.
"Sholeha lagi. Pakai kerudung."
Akbar mengangguk. Ia menjawab dengan jujur. Memang apa lagi yang harus dijawabnya. Ini pertama kali Lea ke sekolah Aidan setelah acara open house sekolah waktu itu. Akbar tersenyum senang. Dalam pikirannya, Lea merasa senang dengan wali kelas Aidan. Perempuan itu sepertinya mulai menyayangi Aidan.
Senyum Akbar justru diinterpretasikan berbeda oleh Lea. Perempuan itu menganggap jika Akbar sudah mengakuinya. Ia kalah telak dengan wali kelas Aidan. Perempuan sholeha nan lembut itu akan menggantikan posisinya.
"Kenapa enggak kamu nikahi aja?" tanyanya dengan kesal.
"Boleh?"
Lea berhenti. Ia menoleh dan memberikan tatapan pada Akbar. "Apanya?"
"Boleh poligami? Asyik."
"Ceraikan aku dulu." Ia berkata kesal sambil berjalan buru-buru mendahului Akbar dan Aidan yang justru menatapnya bingung.
"Lho, tadi nyuruh nikahi sekarang marah."
Lea tidak menjawab. Perempuan itu rasanya ingin melepas pegangan Akbar yang menyusulnya. Kalau saja tidak banyak orang di sana, sudah ia semprot Akbar.
Bukannya menjawab, Akbar justru terkekeh dengan ucapan Lea. Ah, mungkin istrinya cemburu padanya. Akbar senang bukan main mengetahui itu. Usahanya tidak sia-sia.
"Maunya sih nikahi Miss Henny." Lea langsung memberikan pelototan. "Tapi, sayangnya enggak cocok. Aku sukanya perempuan galak."
Lea berusaha menahan senyumnya. Ia tidak akan membiarkan Akbar menang. Dengan pelan, Lea menyembunyikan senyum tipisnya.
"Aku cintanya sama perempuan yang suka menjerit kalau aku tindihin. Terus dia bilang, "lagi, lagi, Bar."
Lea langsung mencubit perut Akbar yang hanya ditanggapi dengan kekehan laki-laki itu. Dasar laki-laki. Pikirannya tidak jauh dari kamar saja.
"Udah cemburunya. Kita pulang terus siap-siap ke bandara."
"Ngapain?"
"Ke Amerika."
Oh, shit. Lea melongo. Rasanya Akbar ingin mencium perempuan itu sekarang juga di sini.
***
Jangan lupa berikan komentarnya....
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Rasa Menyambut (Selesai)
Narrativa generaleAkbar mencintai istrinya, Lea. Sejak kali pertama bertemu, ia sudah menambatkan hati pada sosok cantik itu. Meski akhirnya berhasil menjadikan Lea istrinya setelah percobaan lamaran yang berkali-kali, ia tidak juga membuat perempuan itu jatuh cinta...