"Terima kasih, Nak Lea. Terima kasih mau merawat cucu-cucu ibu. Jadi, ibu enggak khawatir lagi dengan tumbuh kembang mereka," suara ibu sambil terus menggenggam tangan Lea. Perempuan tua itu tak henti-hentinya menatap menantu perempuan satu-satunya itu.
"Sama-sama, Bu." Hanya itu jawaban yang keluar dari bibir Lea. Memangnya apa lagi? Lea tidak mungkin berdusta dengan mengatakan kegembiraanya merawat kedua cucu ibu mertuanya.
Ibu tersenyum. Lea tahu jika itu senyuman pertama ibu setelah kematian puteri pertamanya. Ibu yang paling terpukul mendengar kabar kematian Aisyah dan Fadli. Dua orang yang ibu sayangi meninggal dalam waktu bersamaan. Orangtua yang paling bersedih jika dihadapkan pada kematian seorang anak.
Aisyah dimakamkan bersebelahan dengan suaminya. Cinta mereka terbawa hingga mati. Fadli membuktikan ucapannya. Ia rela dibuang keluarganya karena cinta mati pada Aisyah. Laki-laki itu menyusul istrinya yang dua jam sebelumnya telah meninggal terlebih dahulu.
"Sudah. Ibu bisa tenang, ya," suara Akbar terdengar.
Ibu dan Lea menoleh secara bersamaan. Mereka melihat Akbar berjalan sambil mendorong koper besar berisi pakaian kedua keponakanannya. Tangan satunya lagi ia pakai untuk menggendong Marsha.
"Kami pamit dulu, Bu," kata Lea. Tangan kanan perempuan itu mencium tangan ibu.
"Hati-hati di jalan, Nak."
Lea mengangguk. Setelah berpamitan dengan orangtuanya, mereka meninggalkan kawasan Jagakarsa. Tidak ada yang bersuara di mobil itu. Lea dan Akbar yang hanyut dalam pikiran mereka masing-masing. Tentang Lea yang masih menyimpan keraguan mengenai kegaduhan yang akan ia hadapi karena ulah anak-anak. Tentang Akbar yang memikirkan bagaimana cara merawat dua orang anak yang masih kecil. Akbar akan mencari sekolah yang bagus untuk Aidan. Dua bulan lagi, anak itu akan masuk ke sekolah dasar. Ia juga akan memikirkan susu formula terbaik untuk Marsha. Gadis mungil itu selama ini hanya mengandalkan ASI dari Aisyah. Sama sekali belum mencicipi susu sapi.
Dari pantulan kaca, Akbar bisa melihat Aidan yang masih terdiam. Anak laki-laki itu cenderung lebih pendiam. Aidan mungkin paham dengan konteks kematian. Mungkin juga bingung mengapa orangtuanya harus menghadapi kematian. Anak seusianya harus menjadi yatim piatu.
Mereka sampai dengan senyum Bu Siti yang menyambutnya. Perempuan berusia hampir setengah abad itu menghampiri mobil majikannya. Aidan dan Marsha tertidur pulas di jok belakang. Bu Siti dengan sigap membukakan belt di carseat Marsha. Perempuan itu menggendong bayi satu tahun itu. Ia membawanya ke kamar atas di samping kamar utama.
Lea langsung membawa tubuhnya menuju kamar. Ia tidak acuh dengan Akbar yang berjalan di belakangnya dengan menggendong Aidan. Tidak juga peduli dengan Mba Wati-asisten rumah tangganya yang lain-yang mendorong koper besar.
Ia langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Guyuran shower sedikit menjernihkan pikirannya yang kusut. Lea menikmati waktu santainya di kamar mandi.
Ketika keluar, Lea tercengang mendapati ranjangnya ditempat Akbar dan Marsha. Oh, tidak. Bagaimana bisa bayi itu berada di ranjangnya. Bukankah bayi itu memiliki kamar sendiri. Ada empat kamar di lantai dua. Masih cukup untuk menampung tubuh mungil Marsha.
"Boks bayi Marsha belum dibawa," suara Akbar menginterupsi pikiran kesal Lea.
Marsha masih bayi. Ia tidak mungkin tega membiarkan bayi mungil itu tidur sendirian di ranjang besar. Bisa-bisa jatuh menggelinding ke lantai. Tidak memungkinkan juga tidur bersama Aidan.
"Terserah," kata Lea.
Perempuan itu mengambil air minum di meja nakas di samping ranjangnya. Ia akan tidur di kamar tamu. Ia tidak bisa satu ranjang dengan bayi. Ia takut tangisan bayi itu akan mengganggu waktu istirahatnya.
"Lea," panggilan Akbar membuat Lea berhenti. "Do you want play with me?" matanya mengerling jahil ke Lea.
Lea tahu fantasi liar itu. Tentang keinginan Akbar making love di samping anak kecil. Memadukan hasrat dengan kekhawatiran ketahuan anak. Bagi Akbar, itu sebuah petualangan yang mengasyikkan.
"Gila," kata Lea.
***
Akbar dipusingkan dengan pertanyaan Aidan mengenai kematian orangtuanya. Mengapa papa mamanya bisa meninggal? Mengapa mereka tidak bisa bangun kembali? Ia harus menjelaskan dengan jawaban yang mudah dimengerti anak berusia enam tahun.
"Aa coba pegang dada sebelah kiri kamu," itu kalimat pertama yang diucapkan Akbar sebagai pembuka penjelasannya. "Aa bisa merasakan detakannya, kan?"
Bocah laki-laki itu mengangguk. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa pertanyaan tentang kondisi orangtuanya dijawab dengan jantung.
"Sekarang, coba Aa taruh jari di depan hidung," perintahnya lagi yang diikuti anak itu.
"Ada napasnya, Om," katanya.
"Jantung papa dan mama sudah enggak berdetak lagi. Hidung papa dan mama juga enggak bernapas lagi. Itu yang membuat papa dan mama meninggal."
"Kalau meninggal berarti enggak akan balik ke sini lagi?"
Akbar mengangguk. "Papa dan mama sudah pindah ke tempat yang enggak bisa didatangi orang yang masih hidup kayak Aa dan Om Akbar."
"Aidan enggak bisa kumpul sama papa dan mama lagi, Om?"
Akbar tersenyum miris. Tangannya mengacak pelan rambut hitam Aidan. "Bisa tapi nanti. Sekarang, Aa harus sering berdoa untuk papa dan mama biar mereka bahagia di sana."
"Yang doanya Rabbifirli waliwalidayya warhamhumma kama rabbaya ni shaghira. Itu, ya, Om?"
"Iya. Setiap selesai salat, Aa baca doa itu, ya, Boy?"
"Oke."
Maka, lenyapnya kebingungan Akbar. Akhirnya, ia mengajak Aidan dan Marsha ke sebuah toko furniture. Ia akan membelikan sebuah boks bayi dan tempat tidur baru untuk kedua keponakan tercintanya. Ditemani Bu Siti, mereka berkeliling melihat-lihat toko.
"Om, Aidan suka ini. Captain America."
Akbar tersenyum senang melihat Aidan kembali ceria. Bocah laki-laki itu menunjuk tempat tidur dengan motif pahlawan super buatan Marvel itu. Ia memberitahu karyawan toko akan membeli tempat tidur pilihan Aidan. Untuk Marsha, Bu Siti memilih boks bermotif bintang. Katanya, itu seperti kesukaan Lea.
"Mungkin dengan memasukkan sesuatu yang disukai Non Lea akan membuat Non Lea tertarik dengan Marsha, Mas."
Akbar hanya tersenyum menanggapi. Ia memiliki harapan lain pada Lea. Semoga istrinya itu menyukai kedua keponakan kecilnya.
Mereka kembali setelah dua orang pekerja selesai menempelkan wallpaper di kamar Aidan dan Marsha. Akbar harus membuat Aidan betah tinggal di sini. Langkah pertama tentu saja membuat kamarnya mirip dengan kamar Aidan di rumah orangtuanya. Akbar ingin Aidan merasa jika ini adalah rumahnya. Ini tempat teraman untuk anak laki-laki itu.
"Wow, keren, Om. Ini lebih keren dari kamar Aa di rumah papa," bocah itu berteriak histeris melihat kondisi kamarnya.
Semuanya bertema Avengers. Lebih banyak mengenai Captain America-tokoh favoritnya. Mata kecil Aidan tidak pernah lepas memperhatikan kondisi kamarnya sekarang. Ini benar-benar cool. Ia akan menjadi manusia super seperti tokoh fiksi yang diperankan Chris Evan itu. Ah, itu imajinasinya.
"Kapten, Thanos mulai menyerang kota," suara Akbar terdengar.
Aidan terkekeh. Lantas, ia langsung berdiri sambil memegang perisai buatan dari bahan plastik. Kepalanya ditegakkan. Katanya, "Ayo kita lawan Thanos."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Rasa Menyambut (Selesai)
General FictionAkbar mencintai istrinya, Lea. Sejak kali pertama bertemu, ia sudah menambatkan hati pada sosok cantik itu. Meski akhirnya berhasil menjadikan Lea istrinya setelah percobaan lamaran yang berkali-kali, ia tidak juga membuat perempuan itu jatuh cinta...