Keputusan yang Memberatkan

7.6K 905 17
                                    

Hai, terima kasih sudah menunggu cerita Akbar dan Lea. Cerita ini akan di-publish setiap Selasa dan Kamis, ya. Jangan lupa untuk komen dan vote-nya.


"Lea, please," suara Akbar menatap sayu wajah istrinya.

Lea menggeleng. Ia tidak bisa. Ia tidak akan pernah bisa menyetujui permintaan Akbar. Seharusnya Akbar tahu itu. Atau, seharusnya, dulu, ia tidak menerima lamaran laki-laki itu. Ia telah salah melangkah.

"Lea," Akbar masih saja bersuara. Ia memelas kepada istrinya sendiri. Laki-laki itu berjalan perlahan menghampiri Lea. Tinggi badan Lea sejajar dengannya bila Lea menggunakan high heel. Perempuan bertinggi badan melewati 170 cm yang telah lama Akbar cintai.

Dulu, Akbar rela mengemis cinta Lea. Terus menerus berjuang agar perempuan itu menerima lamarannya. Ia tidak menyerah meskipun seringkali Lea menolak. Ia berjuang demi dirinya sendiri. Kini, Akbar kembali mengemis pada Lea untuk orang yang begitu dicintainya. Orang yang menjadi bagian hidupnya. Orang yang membuat Akbar rela melakukan apapun demi kebahagiaan mereka.

"Kamu tahu aku enggak suka anak-anak, Bar. Oh, enggak. Aku enggak hanya enggak suka tapi juga benci anak-anak. Kamu tahu itu. Kita sepakat untuk enggak ada anak-anak di rumah ini," Lea membalas dengan menatap Akbar.

"Kita sepakat untuk menunda memiliki anak kandung, Lea. Kita menunda kehamilan kamu. Aidan dan Marsha bukan anak kandung kita, Lea."

"Kamu berniat membuat mereka tinggal di sini. SELAMANYA!"

"Karena hanya aku yang mereka punya."

Lea terdiam. Penjelasan Akbar sangat masuk akal. Posisi laki-laki itu di hidup Aidan dan Marsha memang benar. Hanya Akbar yang mereka miliki. Akbar tidak mungkin membiarkan masa senja ibunya mengurusi kedua keponakannya. Masih ada bapak yang butuh perhatian ibu. Sudah cukup Akbar dan Aisyah yang ibu asuh di waktu mereka kecil. Jangan lagi dibebani dengan mengasuh cucu-cucu yang mengharuskan ibu memiliki kekuatan ekstra.

Akbar juga tidak akan tega membiarkan keduanya tinggal dengan pengasuh. Selama ini, Aisyah tidak memiliki pengasuh untuk membantunya merawat kedua buah hatinya. Hanya asisten rumah tangga untuk menangani pekerjaan rumah.

Kini, Lea dihadapkan pada situasi pelik. Ketidaksukaan pada anak kecil dan nuraninya pada kedua keponakan Akbar. Ia tentu tahu bagaimana hidup tanpa pengawasan orangtua. Tapi, ego Lea masih berkuasa. Lea tidak bisa membayangkan hidupnya sehari-hari ditemani teriakan dan tangisan dua buah anak kecil. Itu pasti membuatnya stres.

Akbar tidak mengatakan apapun lagi. Laki-laki itu berjalan meninggalkan Lea di ruang tengah rumah mereka. Akbar akan menenangkan diri dengan duduk d taman belakang. Ia butuh ketenangan untuk menyelesaikan masalah ini.

Siapa yang dapat menebak maut? Kematian adalah rahasia paling dalam yang dibuat Tuhan. Sesuatu yang paling dekat dengan manusia. Tidak ada yang menduga jika kepergian Aisyah dan Fadli ke pesta pernikahannya temannya justru mengantarkan mereka ke gerbang kematian. Mobil yang dinaiki keduanya bertabrakan dengan mobil lain yang dikendarai anak berusia 15 tahun. Gila, seumuran itu sudah membawa mobil di jalan tol dengan kecepatan tinggi. Polisi yang menangani kasus ini menemukan ponsel bocah laki-laki itu. Di dalamnya ada gambar spidometer yang menunjukkan angka 120 km/jam. Gambar yang diambil anak laki-laki tersebut sesaat sebelum kecelakaan maut itu terjadi.

Akbar rasanya ingin menuntut anak laki-laki itu dan orangtuanya. Bagaimana bisa orangtua membiarkan anak di bawah umur membawa mobil Porsche. Tapi, Akbar tahu jika itu hal sia-sia. Orangtua itu juga kehilangan anak satu-satunya mereka.

Sementara Akbar masih berdiam di taman belakang dengan duduk di ayunan kayu, Lea justru terdiam di tempatnya tadi. Pikirannya buyar. Ia tidak menyangka akan menghadapi masalah seperti ini. Ternyata, keputusannya menikah dengan Akbar telah membawa ke masalah yang lebih pelik.

"Non Lea," suara Bu Siti memanggil.

Hal itu menyadarkan Lea ke dunianya sekarang. Lea tersentak dan mendapati Bu Siti yang berdiri di hadapannya. "Iya, Bu."

"Non Lea tahu gimana rasanya jauh dari orangtua. Apa Non Lea tega membiarkan keponanakan Mas Akbar tinggal berdua aja dengan pengasuh? Mereka bahkan enggak memiliki kesempatan untuk bertemu lagi dengan kedua orangtuanya. Kalau bapak dan ibu, kan, masih pulang untuk menemui Non Lea. Sedangkan mereka? Cuma bisa ketemu di mimpi."

Lea menyadari itu. Ia tahu benar perasaan itu. Hanya saja, entahlah. Rasanya sulit melihat anak-anak berkeliaran di sini.

"Kalau Non Lea mau, biar Bu Siti yang merawat mereka di sini. Non Lea enggak perlu mengurus mereka. Itu juga kalau Non Lea enggak keberatan."

"Bu Siti, apa menurut ibu, Lea harus setuju dengan keputusan Akbar."

"Iya, Non. Anggap aja Non Lea sedang berbuat baik dengan menolong mereka. Bu Siti janji, Non Lea enggak akan terganggu dengan kehadiran mereka."

"Bu Siti yakin kalau mereka enggak akan menggangguku?" tanya Lea. Ia ragu dengan ucapan Bu Siti. Anak-anak tanpa mengganggu dengan teriakan dan tangisan. Bukankah itu sebuah kemustahilan.

Bu Siti tersenyum. Ia sebenarnya perihatin dengan kondisi Lea ketika pertama kali bekerja di rumah orangtua Lea. Seorang anak berusia lima tahun yang harus ditinggal bekerja orangtuanya. Lea yang kesepian sering mengganggu Bu Siti untuk mengajaknya main. Lea tidak memiliki teman akrab di masa kanak-kanaknya kecuali di sekolah.

"Yakin. Anak-anak itu bukan pengganggu tapi hiburan," kata Bu Siti.

"Oke."

Anggap saja ia akan berbuat baik dengan anak-anak yatim piatu itu. Ia akan menerimanya. Setidaknya Bu Siti akan membantu untuk mengurusi mereka. Juga Akbar yang menjadi pengasuh utama. Laki-laki itu tidak memiliki aktivitas rutin bekerja di kantor seperti dirinya. Akbar bisa menghabiskan banyak waktunya bersama keponakannya. Itu tidak akan merepotkannya.

Lea melangkah menemui Akbar. Laki-laki itu masih betah duduk di ayunan. Itu sebenarnya tempat favorit Lea untuk membaca novel di waktu sore. Mengingat hal itu membuat Lea tersenyum sendiri. Akbar selalu mengganggunya. Laki-laki itu menghampiri Lea dan mengalihkan fokus Lea dengan kecupan-kecupan di pipinya. Kini, ia yang harus menghampiri Akbar.

Akbar menoleh ketika melihat Lea duduk di sampingnya. Hanya sesaat matanya memandang Lea. Ia langsung mengalihkan matanya untuk melihat rangkaian bunga mawar di depannya.

"Akbar," panggil Lea. "Bu Siti bilang dia mau merawat Aidan dan Marsha."

Akbar menoleh. Bu Siti merawat kedua keponakannya? Akbara tahu betul jika Lea tidak akan pernah mau berpisah dengan pengasuhnya. Itu berarti....

Laki-laki langsung tersenyum. Ia memajukan bibirnya untuk mencium singkat bibir Lea. Katanya, "Terima kasih, Sayang. I love you."

"Sama-sama."

Akbar janji kalau ia tidak hanya berusaha membuat Lea jatuh cinta padanya tapi juga kedua keponakan kecilnya.

***

Jika Rasa Menyambut (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang