Rencana Preshool

6.6K 769 21
                                    

Kencangkan, votes dan komentarnya, ya..... Hatur nuhun.


"Sekolah?" kalimat tanya itu muncul dari bibir Akbar. Laki-laki itu baru saja menikmati boys day home-nya bersama Aidan. Sementara istri dan puteri kecilnya sedang pergi bersama Anna dan anaknya.

Akbar harus banyak-banyak bersyukur pada Tuhan. Kehadiran Lea membuat kehidupannya semakin bahagia. Kesediaan Lea menjadi ibu bagi kedua keponakannya membuat hidupnya terasa sempurna.

Ketika memutuskan untuk dipanggil ibu oleh Aidan dan Marsha, Lea sering menghabiskan waktunya bersama Anna. Kedua perempuan itu sering jalan-jalan di weekend bersama buah hati mereka. Akbar senang melihatnya. Setidaknya, Lea akan belajar banyak hal dari Anna.

Sore ini, Lea baru saja kembali dari entah ke mana bersama Anna. Hal yang membuat Akbar merasa aneh adalah ia tidak melihat satu paper bag pun yang dipegang istrinya. Lea adalah tipe perempuan yang kebahagiaannya diukur dari seberapa banyak barang belanjaannya. Dulu, ia sering menggunakan uangnya untuk beli sepatu, tas, dan pakaian yang harganya bagi Akbar sangat tidak masuk akal. Sepatu dan tas yang harganya setara motor matic. Ketika Akbar mengeluh, Lea selalu membalas. Katanya, harganya tidak seberapa-dibandingkan teman-temannya-yang harganya bisa puluhan juta rupiah.

Saat mulai menikmati sebagai ibu baru, belanjaan Lea bertambah. Di antara paper bag itu, Akbar melihat tulisan Oshkosh B'gosh dan Cool Kids. Kadang, kalau sedang pergi ke mall, tempat pertama yang didatangi Lea adalah gerai Mothercare. Katanya, selalu ada baju-baju lucu yang akan digunakan Marsha.

Sepertinya Lea sedang mengajari Marsha menjadi shopping holic.

Sekarang, Lea tanpa paper bag adalah sebuah kemustahilan. Akbar baru saja bernapas lega melihat perubahan itu. Nyatanya, informasi baru yang didapat Lea justru membuangnya semakin kebingungan.

"Iya, Bar. Sekolah untuk Marsha."

"Sekolah TK?"

"Bukan, preschool."

Akbar justru menatap Lea kebingungan. Preschool. Bukan sekolah tapi sekolah untuk sebelum memulai sekolah? Sama aja dengan taman kanak-kanak yang dulu ia belajar. Tapi, kata Lea, bukan TK.

"Kamu, mah, kudetnya beneran, deh," Lea berkata dengan kesal. "Itu pendidikan pra sekolah untuk anak-anak. Jadi, ketika sekolah, mereka enggak akan kaget."

"Dulu, aku masuk TK umur 5 tahun terus langsung SD."

Lea mencubiti pinggang Akbar yang dibalas dengan tawa laki-laki itu. Tentu saja zaman mereka berbeda dengan sekarang. Masuk TK setahun langsung SD. Sekarang, anak usia satu tahun saja sudah ada sekolahnya.

"Diajarin baca tulis juga?"

"Enggaklah. Mereka mengajarkan sosialisasi dengan teman-teman sebaya. Di sini, kan, Marsha temannya cuma aku, kamu, Aidan, dan Bu Siti. Mana ada teman sebaya."

"Aku bisa jadi temannya," kata Akbar.

Tentu saja bisa. Lea berdesis pelan. Ia ingat momen memalukan itu. Lea sering make up di depan balita lucu itu. Setiap kali memoleskan sesuatu di wajahnya, Marsha selalu menatapnya kagum. Anak itu terpukau dengan beraneka warna warni yang dipindahkan lea ke wajahnya.

Ketika itu hari libur. Lea sedang pergi ke mini market dekat rumah dengan Aidan. Marsha ia tinggalkan dengan Akbar. Tapi, Akbar malah tertidur dengan tas Lea di dekatnya. Marsha yang memang super aktif membuka tas Lea. Begitu menemukan peralatan make up milik ibunya, ia langsung berkreasi di wajah bapaknya.

Ibu dan bapak datang bersamaan dengan Lea. Akbar yang tidak menyadari apa yang terjadi pada wajahnya, langsung membawa Marsha menemui orangtunya. Hasilnya, mereka berdua tidak berhenti menertawakan anak laki-lakinya. Untung yang datang ibu dan bapak. Coba kalau karyawan Akbar. Bisa jatuh wibawa Akbar.

"Marsha punya teman sebaya. Setiap sore, dia sering main di taman sama teman-teman sebayanya."

Oh, itu Lea sebenarnya tahu. Ia hanya tidak ingin kalah gengsi dengan Anna dan teman-teman kantornya yang lain. Preschool keliatan prestisius, kan? Pokoknya lebih keren.

"Lea, nanti aja, ya, Marsha sekolahnya. Biar dia menikmati apa yang dia ingin lakukan."

Dengan berat hati Lea mengangguk. Tapi bibirnya mengerucut. Akbar tahu jika istrinya kecewa. Tapi, ia selalu punya jurus jitu menaklukkan hati istrinya.

"Minggu depan, kita ke Lembang, yuk?" tawarnya.

Mata Lea langsung berbinar. Ia langsung mengalungkan tangannya di leher Akbar. Laki-laki itu tahu betul. Akan ada hal lain yang diinginkan Lea.

"Tapi nanti mampir ke Rumah Mode, ya?"

See. Akbar sudah membayangkan bagaimana liburannya nanti di Lembang. Lea ke Rumah Mode terasa membosankan baginya. Menunggu perempuan berbelanja itu sangat menguras energi. Baiklah, demi senyum dan kebahagiaan Lea, ia akan lakukan kegiatan membosankan itu.

Akbar mengangguk.

Lea tersenyum. Perempuan itu memberikan kecupan singkat di bibir suaminya. Tapi, belum sempat ia menarik kepalanya, Akbar sudah menahan tengkuk perempuan itu. Akbar melumat bibir itu dengan intens. Harus ada yang dibayar Lea untuk kesenangannya berbelanja di Bandung minggu depan. Anggap saja membayar di muka. Sisanya bisa menyicil setiap malam.

***


Jika Rasa Menyambut (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang